Jakarta, CoreNews.id — Ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin memburuk selama 10 tahun terakhir. Hal itu dapat dilihat dari ketidakadilan antar golongan pendapatan yang terangkum dalam tiga ukuran atau indikator, yakni ketidakadilan antargenerasi, antarwilayah, dan antarsektor.
Hal ini disampaikan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri dalam diskusi publik bertajuk ‘Hari Lahir Pancasila: Ekonomi Sudah Adil untuk Semua?’ yang diadakan secara daring, (4/6/2024). Mengenai ketidakadilan antargenerasi, Didin menyoroti soal data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan data ada 10 juta gen Z yang tidak sekolah dan tidak bekerja. Kaitannya pula dengan polemik uang kuliah tunggal (UKT) yang belakangan ini mencuat dan mendapat protes dari publik.
Mengenai konteks ketidakadilan antar wilayah, Didin menyinggung soal anggaran pendidikan 20 persen APBN, mulai dari Rp 300-an triliun, Rp 400-an triliun, Rp 500-an triliun, sampai Rp 686 triliun, dan nanti tahun depan Rp 770 triliun, sudah jadi peran apa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlebih Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa biaya pendidikan akan dinaikkan lagi pada tahun depan.
Terakhir pada sisi keadilan antar sektor, Didin mengkritisi mengenai sektor-sektor tertentu, seperti sektor timah dan nikel yang jauh kondisinya dibandingkan sektor lainnya, semisal sektor agromaritim (perikanan, kelautan, dan pertanian).
“Di sektor timah saja sebagai contohnya, baru saja kita dengar bahwa kerugian negara akibat dari korupsi timah itu Rp 300 triliun, ini baru satu sektor saja. Tapi di tambah itu sangat jauh, buruh-buruhnya pun lebih sejahtera, dibandingkan misalnya nelayan. Jadi ketidakadilan antar sektor agromaritim dengan tambang sangat jomplang tapi hasilnya dikorupsi, besar-besaran pula,” pungkas Didin.*