Jakarta, CoreNews.id — Keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dinilai berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat.
Hal ini disampaikan Ekonom Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda di Jakarta, (15/11/2024). Menurut Nailul Huda kembali, pemerintah diharap dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah
Huda memahami jika banyak negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menerapkan tarif PPN lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, demikian terdapat juga negara yang tarif PPN-nya lebih rendah, seperti Kanada yang sebesar 5 persen. Perlu diketahui, di Asean tarif PPN Indonesia saat ini dicatat pada posisi kedua di bawah Philipina (12%). Sementara itu Singapura sebesar 9.0%, Malaysia sebesar 8.0%, dan Thailand sebesar 7.0%.*