Jakarta, CoreNews.id — PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melaksanakan delisting kepada 10 perusahaan pada tahun 2025. Keputusan delisting tersebut tidak semata-mata terjadi karena kerugian perusahaan. Delisting dilakukan jika perusahaan berada dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau bahkan dilikuidasi. Sehingga, kerugian tidak juga secara otomatis menjadi alasan dilakukan delisting terhadap suatu emiten.
Hal ini disampaikan Direktur Utama BEI Iman Rachman dalam Konferensi Pers Penutupan Perdagangan BEI di Gedung BEI, Jakarta (30/12/2024). Menurut Iman, BEI mempertimbangkan menaikkan free float, khususnya untuk perusahaan dengan ekuitas di atas Rp 2 triliun, maka maksimum free float-nya 10 persen. BEI juga mempertimbangkan untuk melakukan perpanjangan durasi minimal operasional perusahaan sebelum IPO, yang saat ini hanya satu tahun, menjadi lebih lama.
Adapun 10 perusahaan yang akan mengalami delisting, adalah PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), PT Nipress Tbk (NIPS) PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX), PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW). Kedelapan perusahaan itu akan terkena delisting karena pailit. Sementara itu dua emiten lainnya, yakni HDTX dan JKSW terkena delisting karena suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat dan telah mengalami suspensi efek paling kurang selama 24 bulan terakhir.*