Jakarta, CoreNews.id — Penurunan 20,85 % pendapatan negara menjadi Rp 316,9 triliun dari sebelumnya Rp 400,4 triliun menurut APBN KiTa edisi Februari 2025 serta penerimaan pajak yang menurun 30,19 % menjadi Rp 187,8 triliun dari sebelumnya Rp 269,02 triliun pada Februari 2024, merupakan sinyal keras bahwa fondasi fiskal Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, bahkan sebelum memasuki kuartal kedua tahun anggaran.
Terlebih untuk pertama kalinya sejak 2021, APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Padahal, tahun lalu pada periode yang sama, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp 26,04 triliun.
Hal ini disampaikan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat di Jakarta, (13/3/2025). Menurut Achmad kembali, perlu segera dilakukan reformasi fiscal guna mengatasi hal tersebut. Bila reformasi fiskal tidak segera dilakukan, negara berisiko masuk dalam lingkaran defisit yang terus melebar, beban utang yang meningkat, dan terbatasnya ruang fiskal untuk mendukung kebutuhan dasar rakyat.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan tiga langkah strategis dalam menghadapi hal tersebut. Pertama, audit independen terhadap sistem Coretax untuk mengatasi hambatan teknis dan memastikan penerimaan pajak kembali normal. Kedua, peninjauan ulang belanja negara dengan fokus pada program yang berdampak langsung pada rakyat miskin dan pemulihan ekonomi. Ketiga, diversifikasi sumber pendapatan negara melalui optimalisasi dividen BUMN dan efisiensi aset negara.
“Indonesia saat ini membutuhkan langkah nyata dalam menata fiskal negara. Bukan sekadar optimisme atau penundaan kebijakan, tetapi reformasi fiskal yang terukur dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat,” pungkasnya.*