Jakarta, CoreNews.id — Sebuah studi internasional terbaru yang dipimpin oleh Ken Hyland dari University of East Anglia mengungkapkan bahwa AI masih jauh tertinggal dalam meniru kualitas fundamental manusia dalam menulis, yaitu kemampuan secara “murni” untuk terhubung dengan pembaca. Sekalipun diakui, AI mampu menghasilkan teks yang secara gramatikal benar dan terstruktur rapi.
Pada studi yang dipublikasikan dalam jurnal Written Communication ini, ditemukan bahwa esai yang ditulis oleh manusia menggunakan lebih dari tiga kali lipat teknik keterlibatan pembaca dibandingkan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT. Kala menganalisis ratusan esai dengan membandingkan 145 esai argumentatif yang ditulis oleh mahasiswa universitas di Inggris dengan 145 esai serupa yang dihasilkan oleh ChatGPT tentang topik yang sama, dengan fokus utama penelitian pada “penanda keterlibatan” (engagement markers), yaitu perangkat retoris yang digunakan penulis untuk terhubung dengan pembaca, dihasilkan keterangan sebagai berikut.
Pertama, adanya perbedaan yang mencolok dalam penggunaan penanda keterlibatan antara esai manusia dan esai yang dihasilkan AI. Mahasiswa secara signifikan lebih sering menggunakan pertanyaan, sapaan pribadi (personal asides), dan penyebutan pembaca (reader mentions) untuk menciptakan rasa eksplorasi bersama dengan audiens mereka. Elemen-elemen ini membangun hubungan percakapan dengan pembaca yang secara konsisten tidak ditemukan dalam teks yang dihasilkan oleh AI.
Kedua, ChatGPT hanya mampu menghasilkan tulisan yang secara teknis kompeten. AI jugai kesulitan dalam mereplikasi elemen-elemen persuasif yang bersifat manusiawi. Model AI sangat bergantung pada pernyataan faktual dan daya tarik pada pengetahuan bersama (appeals to shared knowledge) tetapi jarang menggunakan sentuhan pribadi yang membuat argumen akademik menjadi menarik dan meyakinkan.
Hyland, seorang profesor dengan lebih dari 300 artikel yang dipublikasikan dan 97.000 kutipan, dikutip dari laman Study Finds, menjelaskan bahwa penulis manusia secara sadar membangun model mental pembaca mereka dan menyesuaikan tulisan mereka sesuai dengan pemahaman tersebut. ChatGPT, meskipun memiliki kemampuan yang mengesankan, tidak dapat benar-benar memahami audiensnya atau mengantisipasi keberatan pembaca tanpa perintah spesifik.
“Esai AI meniru konvensi penulisan akademik, tetapi mereka tidak mampu menyuntikkan teks dengan sentuhan pribadi atau menunjukkan pendirian yang jelas,” kata Hyland.
Terakhir, studi ini juga mengungkapkan bahwa ChatGPT gagal menggunakan daya tarik pada penalaran logis (appeals to logical reasoning) dalam esainya, menunjukkan bahwa AI mungkin lebih baik dalam mereproduksi informasi faktual daripada mengembangkan ide atau konsep yang kompleks. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa model AI kesulitan dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills).*