Jakarta, CoreNews.id – Ketegangan Iran dan Israel kembali memuncak setelah Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke wilayah Israel pada April 2024. Serangan ini merupakan balasan atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada 1 April, yang menewaskan tujuh anggota Garda Revolusi, termasuk dua komandan senior.
Israel kemudian melakukan serangan balasan, meskipun Teheran menyebutnya hanya sebagai serangan drone kecil.
Konflik ini merupakan bagian dari permusuhan panjang antara kedua negara yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Namun, hubungan Iran dan Israel tidak selalu tegang. Pada 1950, Iran bahkan menjadi salah satu negara Muslim pertama yang mengakui kedaulatan Israel. Di masa itu, kedua negara menjalin kerjasama strategis, terutama dalam bidang militer dan ekonomi.
Hubungan erat ini dipelopori oleh Mohammad Reza Pahlavi, Shah Iran yang pro-Barat. Ia melihat Israel sebagai mitra strategis untuk menghadapi ancaman Uni Soviet di kawasan Timur Tengah.
Iran dan Israel bahkan bekerjasama membantu pemberontakan Kurdi di Irak dan mengembangkan proyek-proyek persenjataan bersama. Kerjasama ini memberi dampak positif bagi ekonomi Iran.
Namun, titik balik terjadi pada 1979 saat Revolusi Islam menggulingkan Reza Pahlavi dan mendirikan Republik Islam Iran. Sejak saat itu, Iran memusuhi Israel karena alasan ideologis, khususnya terkait pembelaannya terhadap Palestina yang dianggap tertindas oleh rezim Israel. Permusuhan ini juga melibatkan Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel.
Kini, Iran dikenal mendukung jaringan “poros perlawanan” di Timur Tengah yang terdiri dari kelompok bersenjata di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman. Sebaliknya, Israel secara aktif melakukan serangan, sabotase, dan spionase terhadap Iran. Permusuhan yang bermula dari perbedaan ideologi ini terus membentuk dinamika konflik di kawasan hingga hari ini.