Jakarta, CoreNews.id – Harga minyak dunia melonjak tajam pada awal pekan ini menyusul serangan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Ketegangan geopolitik yang meningkat memicu kekhawatiran pasar akan terganggunya pasokan global, terutama karena Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga di OPEC.
Dilansir Reuters, Senin (23/6/2025), harga minyak mentah Brent berjangka naik US$ 1,92 atau 2,49% menjadi US$ 78,93 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat US$ 1,89 atau 2,56% ke level US$ 75,73 per barel.
Bahkan dalam perdagangan kontrak, harga sempat melonjak lebih dari 3% di awal sesi. Brent sempat menyentuh US$ 81,40 per barel dan WTI mencapai US$ 78,40, mencatatkan level tertinggi dalam lima bulan terakhir.
Brent telah mencatat kenaikan sebesar 13% sejak konflik dimulai pada 13 Juni lalu, sementara WTI naik sekitar 10% selama periode yang sama.
Kenaikan harga ini dipicu oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan bahwa fasilitas nuklir utama Iran telah dilenyapkan dalam serangan mendadak pada akhir pekan. Serangan tersebut sekaligus menandai keterlibatan langsung AS dalam konflik antara Israel dan Iran.
Iran merespons dengan pernyataan keras dan menyatakan akan mengambil langkah tegas untuk mempertahankan diri dan melawan baik Israel maupun AS. Kondisi ini menambah ketidakpastian geopolitik dan mendorong sentimen pasar terhadap potensi gangguan distribusi energi global.
Pasar juga semakin khawatir dengan kemungkinan Iran akan menutup Selat Hormuz, jalur strategis di mana sekitar 20% pasokan minyak mentah dunia melewati wilayah tersebut. Jika jalur ini terganggu, pasokan global bisa terganggu secara signifikan.
Dalam laporan hari Minggu, Goldman Sachs memperingatkan bahwa jika aliran minyak melalui Selat Hormuz benar-benar dihentikan, harga minyak Brent bisa melonjak hingga US$ 110 per barel.
Sementara itu, harga minyak dalam asumsi APBN 2025 Indonesia ditetapkan maksimal sebesar US$ 82 per barel. Namun dengan kondisi yang terus berkembang dan risiko geopolitik yang meningkat, harga tersebut berpotensi terlewati jika situasi tidak mereda.
Kondisi ini menambah beban pasar global yang sebelumnya sudah dibayangi ketidakpastian ekonomi dan fluktuasi mata uang kripto akibat konflik Iran-Israel yang kian meluas.