Cilegon, CoreNews. Id – Ada yang berbeda di kawasan Pabean, Purwakarta, Kota Cilegon, Sabtu, 19 Juli 2025. Jalan-jalan yang biasanya lengang berubah ramai oleh lautan manusia—lebih dari dua ribu alumni Madrasah Al Khairiyah Karang Tengah tumpah ruah dalam Reuni Akbar dan Haul KH Qomaruddin. Tak sekadar temu kangen, momen ini menjelma menjadi peristiwa sakral dan penuh makna, memadukan jejak sejarah, penghormatan, dan asa masa depan.
Dari berbagai pelosok tanah air bahkan mancanegara, alumni lintas generasi berdatangan. Ada yang datang dari Qatar, Brunei Darussalam, hingga pelosok Kalimantan dan Sumatra. Semua menyatu dalam satu tujuan: mengenang, menghormati, dan melanjutkan nilai-nilai luhur yang diwariskan para guru dan pendiri madrasah.
Langkah Panjang Seorang Alumni
Satu sosok mencuri perhatian: Ali Juhdi, alumni tahun 1996 yang kini bekerja sebagai Senior Control Room Operator di industri migas Qatar. Ia menempuh ribuan kilometer hanya untuk satu hari yang ia sebut sebagai “perjalanan pulang paling bermakna”.
“Ini bukan sekadar reuni. Ini adalah bentuk rasa terima kasih saya kepada para guru yang membentuk karakter hidup saya,” kata Ali seperti diberitakan wilip.id.
Tak peduli padatnya jadwal atau ongkos perjalanan mahal, Ali hadir. Dan di situlah kekuatan reuni ini berbicara: tentang cinta yang tak mengenal jarak, dan kenangan yang tak pernah pudar.
Mengenang Dan Mendoakan Yang Telah Tiada
Acara ini sekaligus menjadi peringatan 56 tahun berdirinya MTs Al Khairiyah (1969) dan 35 tahun MA Al Khairiyah (1989). Dalam ziarah ke makam Asem, para alumni menundukkan kepala di hadapan pusara para guru, termasuk KH Qomaruddin dan KH Hasbullah Qomar. Air mata tumpah, doa dilangitkan.
“Kalau bukan kita yang mendoakan mereka, siapa lagi?” ujar Ali penuh haru.
Setelah ziarah, pembacaan Hotmil Qur’an dan doa bersama mewarnai malam penuh kekhidmatan. Ini bukan hanya napak tilas, tapi juga bentuk nyata rasa bakti para santri kepada sang guru.
Pondok dan Madrasah yang Menyimpan Kenangan
Halaman madrasah disulap menjadi ruang nostalgia. Di bawah tenda besar, kenangan bermunculan: suara guru yang membentak tegas tapi penuh kasih, salah satu yang terngiang diinggatan santri kala itu “eh dul..iye sire..” atau “kuh..sing ning buri kuh wace..aje kiyap-kiyep bae..” menjadi kenangan yang terus membekas.
Suasana hangat menyelimuti. Tak ada sekat antara angkatan lama dan baru. Tak ada senioritas. Yang ada hanya persaudaraan yang dibentuk oleh waktu dan pengabdian.
AKAR yang Menyatukan
Di balik kesuksesan acara, ada peran penting grup WhatsApp AKAR (Al Khairiyah Karang Tengah), yang kini memiliki lebih dari 800 anggota. Grup ini menjadi simpul komunikasi yang efektif, bahkan menjadi titik awal terbentuknya jaringan alumni global.
“Kami mungkin dipisahkan jarak, tapi disatukan oleh semangat yang sama,” ujar Ketua Panitia Ayatullah.
Ayatullah juga mengungkapkan bahwa donasi alumni menembus angka Rp56 juta—angka yang tidak hanya menunjukkan partisipasi, tapi juga rasa memiliki yang luar biasa.
Langkah Nyata, Bukan Sekadar Euforia
Tak ingin momentum ini berlalu begitu saja, para alumni juga menggelar musyawarah untuk membentuk struktur organisasi resmi. Mereka sadar, potensi besar ini harus dikelola dengan visi dan struktur yang jelas.
“Kalau hanya jadi acara tahunan tanpa kesinambungan, kita rugi besar. Reuni ini harus jadi tonggak, bukan hanya nostalgia,” tegas Ayatullah.
Pemerintah Turut Menguatkan
Pemerintah Kota Cilegon tak tinggal diam. Lewat Bagian Umum Setda, Dinas Perkim, Dinkes, BAZNAS, hingga Diskominfo, mereka hadir dengan dukungan konkret: toilet portabel, layanan kesehatan, hingga siaran langsung melalui kanal YouTube.
Kabag Umum Setda, Rizka Budi Mustika, bersama jajaran Forkopimda, camat, lurah, dan tokoh masyarakat juga turut hadir. Kehadiran mereka mempertegas bahwa peran pendidikan dan alumni adalah aset penting dalam pembangunan daerah.
Cahaya Santri yang Tak Pernah Padam
Simbol paling kuat dari reuni ini barangkali adalah peluncuran karya tulis Cahaya Santri—sebuah refleksi nilai-nilai spiritualitas dan perjuangan santri. Buku itu menjadi representasi bahwa Al Khairiyah tidak hanya melahirkan alumni, tetapi juga pejuang ilmu dan peradaban.
Reuni ini bukan sekadar titik balik ke masa lalu. Tapi juga lompatan ke masa depan—bahwa santri bisa berkhidmat untuk umat dan bangsa, tanpa melupakan akar tempat mereka tumbuh.