Jakarta, CoreNews.id – Setiap 1 Oktober tiba, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala mengenang sejarah kelam 1965. Namun, Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar ritual mengenang tragedi. Lebih dari itu, hari ini adalah pengingat bahwa Pancasila harus terus hidup sebagai sumber kekuatan moral dan politik bangsa di tengah derasnya arus globalisasi dan menguatnya politik identitas yang menguji persatuan nasional.
Bagi Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, momentum Hari Kesaktian Pancasila tahun ini seharusnya menjadi wake-up call bagi seluruh elemen bangsa.
“Kesaktian Pancasila bukan pada mitosnya, tetapi pada daya hidupnya yang terus relevan. Pancasila sakti karena mampu bertahan, menyesuaikan diri, dan menuntun bangsa melewati setiap zaman,” ujarnya kepada awak media, di Jakarta.
Menguatnya Politik Identitas dan Tantangan Baru Kebangsaan
Tiga dekade setelah Reformasi, Indonesia menikmati kebebasan politik yang luas. Namun di sisi lain, kebebasan itu memunculkan gejala baru, bahwa politik identitas, ujaran kebencian, dan intoleransi sosial. Media sosial mempercepat penyebaran narasi yang memecah belah, sementara generasi muda kian jauh dari nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila.
“Banyak generasi muda lebih mengenal ideologi global yang viral di media sosial ketimbang Pancasila. Ini menunjukkan lemahnya pelembagaan ideologi kebangsaan,” ujar Tholabi.
Ia menilai, pendidikan Pancasila kini berhenti pada tataran pengetahuan normatif, tidak menyentuh pembentukan karakter dan perilaku sosial.
“Dulu kita punya P4 yang walau sering dikritik karena formalistik, tapi punya efek pembiasaan. Sekarang pembinaan ideologi berhenti di ruang kelas, tidak masuk ke kebijakan publik,” katanya menegaskan.
Dari Peringatan Seremonial ke Gerakan Konstitusional
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, kata Tholabi, seharusnya tidak hanya menjadi seremoni nasional, tetapi momentum untuk memperkuat pelembagaan nilai-nilai dasar bangsa. Ia mendorong agar pembinaan ideologi tidak sekadar diatur lewat Peraturan Presiden, melainkan ditingkatkan menjadi Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (UU PIP) yang memiliki kekuatan konstitusional jangka panjang.
“Kalau dasar hukumnya hanya Perpres, maka nasib pembinaan ideologi bergantung pada siapa presidennya. Padahal, ini agenda lintas rezim dan lintas generasi. Karena itu perlu ada UU agar komitmen kebangsaan tidak mudah berubah oleh pergantian kekuasaan,” ujarnya.
Menurutnya, Pancasila harus diarusutamakan dalam setiap kebijakan negara, mulai dari tata kelola ekonomi yang berkeadilan sosial, hingga penegakan hukum yang menjunjung kemanusiaan.
“Sila-sila Pancasila bukan hanya teks, tapi pedoman etika politik, ekonomi, dan hukum. Di sinilah ujian kesaktiannya, mampukah ia menuntun keputusan publik agar berpihak pada rakyat dan keadilan,” tambahnya.
Menjaga Pancasila dari Bahaya Apatisme
Bagi Tholabi, yang juga pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), ancaman terbesar terhadap Pancasila bukan lagi kudeta ideologis seperti 1965, melainkan apatisme ideologis.
“Bahaya hari ini adalah sikap masa bodoh. Banyak orang tidak menolak Pancasila, tapi juga tidak menghidupkannya. Padahal, negara bisa rapuh bukan hanya karena serangan dari luar, tapi juga karena kelalaian dari dalam,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya membangun generasi baru yang tidak hanya hafal lima sila, tetapi menghayatinya dalam tindakan. “Jika sila keadilan sosial benar-benar dijadikan dasar kebijakan ekonomi, tidak akan ada ketimpangan sebesar sekarang,” katanya.
Karena itu, pelembagaan Pancasila harus dimulai sejak pendidikan dasar hingga kebijakan nasional. “Pancasila harus turun ke bumi, tidak berhenti di langit wacana,” ujarnya.
Refleksi 1 Oktober: Dari Trauma ke Tanggung Jawab
Enam puluh tahun lebih sejak peristiwa 1965, bangsa Indonesia telah berubah. Namun nilai-nilai yang melahirkan republik ini tetap sama: persatuan, kemanusiaan, dan keadilan. Pancasila, kata Tholabi, adalah living ideology, yakni ideologi yang hidup karena terus diperjuangkan.
“Kesaktian Pancasila bukan berarti ia kebal dari ancaman. Justru kesaktiannya terletak pada kemampuannya untuk bangkit kembali, untuk menuntun bangsa setiap kali tersesat arah,” pungkas Tholabi.
Di tengah dunia yang kian terfragmentasi oleh kepentingan politik dan ekonomi, Hari Kesaktian Pancasila menjadi momen penting untuk meneguhkan kembali kompas moral bangsa.
Dan seperti pesan Bung Karno yang kembali digaungkan Tholabi, bahwa Negara Republik Indonesia bukan milik kelompok atau golongan tertentu, tetapi milik kita semua, dari Sabang sampai Merauke.”