Jakarta, CoreNews.id – Kementerian Perdagangan (Kemendag) membantah anggapan bahwa fenomena ‘rojali’ alias rombongan jarang beli di mal merupakan pertanda menurunnya daya beli masyarakat.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Iqbal Shoffan Shofwan menegaskan bahwa pola konsumsi masyarakat saat ini telah bergeser seiring perubahan tren belanja digital dan strategi bisnis omnichannel.
“Daya beli itu kan ada peningkatan 1,9 persen year on year. Kalau dari data itu ya, artinya seharusnya daya beli kita enggak terganggu,” kata Iqbal di Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (31/7/2025).
“Jadi saya bisa berargumen berdasarkan data itu saja. Ada peningkatan kan, berarti kita enggak bisa mengatakan itu jadi penurunan.” tambahnya.
Menurut Iqbal, pusat perbelanjaan seperti Thamrin City dan ITC Mangga Dua telah bertransformasi, baik dalam konsep ruang maupun kanal penjualan. Sekitar 60–70 persen pedagang di sana disebut telah menjalankan penjualan secara daring dan transaksi tetap berjalan.
“Yang utama adalah transaksinya jalan atau tidak. Dan itu kita konfirmasi langsung ke pedagang maupun jasa ekspedisi di lokasi,” ujar Iqbal.
Meski mengakui tren “nongkrong tanpa belanja” berpengaruh terhadap omzet, Iqbal menegaskan bahwa data Indeks Penjualan Riil (IPR) menunjukkan pertumbuhan positif: 1,9 persen pada Mei dan diperkirakan tumbuh 2 persen pada Juni 2025.
“Jadi kondisi perekonomian kita membaik,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menyatakan fenomena rojali meningkat karena pelemahan daya beli, terutama di kalangan kelas menengah bawah.
“Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” kata Alphonsus.
APPBI mencatat meski jumlah pengunjung mal naik 10 persen dari tahun lalu, kenaikan tersebut tak sejalan dengan omzet dan mayoritas pengunjung berasal dari kelompok menengah bawah yang terdampak kenaikan harga.