Jakarta, CoreNews.id – Suasana sore yang sejuk menyelimuti Pendopo Pondok Pesantren Pasulukan Al-Masykuriyah, Jakarta Timur, Jumat (12/9). Ratusan undangan dari kalangan akademisi, tokoh agama, mahasiswa, hingga masyarakat umum berkumpul dengan penuh antusias dalam acara peluncuran buku terbaru berjudul “Prinsip-Prinsip Negara Indonesia: Syarah Konstitusi”.
Dalam paparannya, Prof. Dr. K.H. Ali Masykur Musa, S.H., M.Si., M.Hum., menegaskan bahwa konstitusi Indonesia sangat relevan dengan ajaran Islam. Menurut dia, banyak nomenklatur dan konsep Islam yang terintegrasi dalam UUD 1945, mulai dari gagasan tentang keadilan, musyawarah, hingga prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Konstitusi bukan sekadar aturan dasar, tetapi juga pedoman kebangsaan yang mencerminkan nilai moral dan spiritual. Kita bisa menemukan nilai-nilai Islami yang menyatu di dalamnya,” ujarnya.
Ali Masykur Musa dikenal sebagai figur multidimensi. Ia seorang akademisi mumpuni dengan jabatan profesor di bidang hukum tata negara, sekaligus memiliki pengalaman panjang di ranah politik dan kenegaraan. Pernah menjadi anggota DPR RI, memimpin di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga aktif di berbagai forum internasional.
Ia memadukan penguasaan teks konstitusi yang mendalam dengan pengalaman praktis di gelanggang politik dan pemerintahan. Berakar kuat di tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama, reputasinya sebagai ulama-cendekiawan menjadikan buku ini lahir dari refleksi panjang seorang negarawan.
Guru besar UIN Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, didaulat menyampaikan testimoni. Menurut Tholabi, buku ini hadir di saat yang sangat tepat, ketika bangsa tengah diuji oleh tantangan besar dalam kehidupan bernegara. “Hari ini kita menghadapi menguatnya intoleransi, mengerasnya politik identitas, dan bahkan ancaman oligarki. Dalam konteks itu, karya Prof. Ali Masykur adalah pengingat penting bahwa konstitusi harus kembali ditempatkan sebagai pedoman moral dan arah demokrasi kita,” ujarnya.
Menurut Tholabi, keistimewaan buku ini bukan hanya karena ketajaman analisisnya terhadap pasal-pasal UUD 1945, melainkan juga keberanian penulis menghidupkan konstitusi dengan pendekatan syarah. “Kata ‘syarah’ di sini bermakna penting. Dalam tradisi Islam, syarah adalah upaya penjelasan mendalam terhadap teks. Prof. Ali Masykur menempatkan UUD 1945 seperti kitab bangsa yang perlu ditafsirkan dengan nurani, bukan sekadar dibaca pasal demi pasal,” ungkap Tholabi.
Ia juga menekankan bahwa buku ini menghadirkan wajah konstitusi yang lebih humanis. “Biasanya, buku hukum tata negara disajikan secara kaku. Tetapi, melalui pendekatan syarah, kita diajak menyelami makna konstitusi dengan perspektif moral, agama, dan kemanusiaan.
Konstitusi seolah berbicara langsung kepada kita tentang kemerdekaan, keadilan, dan tanggung jawab bernegara,” tuturnya.
Lebih jauh, Tholabi menilai karya ini layak dijadikan bacaan wajib di perguruan tinggi, pesantren, dan lembaga pemerintahan. “Buku ini meneguhkan Pembukaan UUD 1945 sebagai dokumen sakral bangsa, menekankan kedaulatan rakyat sebagai pemilik legitimasi sejati, dan mempertegas hukum harus berpihak pada keadilan. Ia bukan sekadar referensi akademis, melainkan juga panduan moral dan refleksi historis,” katanya.
Bagi generasi muda, khususnya mahasiswa hukum dan aktivis, Tholabi berharap buku ini menjadi jembatan penting untuk memahami konstitusi secara lebih hidup. “Disajikan secara komunikatif, penuh penjelasan moral, dan jauh dari kekakuan. Ia bisa menjadi bahan ajar, diskusi, sekaligus pedoman etis dalam berpolitik,” tambahnya.
Para undangan menyematkan harapan besar agar karya ini menjadi inspirasi dalam memperkuat demokrasi dan menjaga Indonesia tetap kokoh sebagai negara hukum yang adil dan beradab.
Dengan demikian, peluncuran buku ini tidak hanya menjadi perayaan intelektual, tetapi juga sebuah momentum kebangsaan. Sebuah ajakan untuk kembali membaca konstitusi bukan semata sebagai teks hukum, melainkan sebagai cermin moral bangsa.***