Jakarta, CoreNews.id – Memasuki usia ke-17, Tangerang Selatan menampilkan diri sebagai kota yang lincah, modern, dan tumbuh cepat. Namun, di balik deretan capaian itu, sejumlah pengamat menilai bahwa usia kota bukan hanya angka administratif, melainkan cermin kedewasaan sosial yang harus dibangun secara sadar.
Salah satu pandangan datang dari Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang melihat ulang tahun kota sebagai momentum bagi warga untuk memahami kembali arah pembangunan Tangsel.
Menurut Prof. Tholabi, sebuah kota tidak dapat diukur hanya dari hamparan fisik atau kecepatan membangun infrastruktur. “Kota adalah ruang di mana hati-hati manusia bertemu,” ujarnya dalam percakapannya dengan kami. Perspektif ini memberi penekanan bahwa indikator kemajuan seharusnya ikut mencakup kualitas hubungan sosial, moralitas publik, dan keutuhan nilai-nilai yang dijaga bersama.
Tangsel memang mengalami percepatan pembangunan yang impresif, di mana fasilitas publik terus bertambah, ekosistem ekonomi berkembang, dan kampus-kampus semakin hidup. Namun Prof. Tholabi mengingatkan bahaya “ketimpangan kedewasaan”, yakni ketika fisik kota berlari kencang tetapi dimensi sosial dan spiritual masyarakat tertinggal.
Sebagai akademisi yang aktif mengikuti dinamika kehidupan keagamaan di wilayah perkotaan, Tholabi memandang bahwa pembangunan Tangsel membutuhkan dua kekuatan utama yakni kebijakan pemerintah dan kebijaksanaan ulama. Ia menggambarkannya sebagai dua sayap yang menyeimbangkan arah kota. Pemerintah bertugas menata tata kelola dan pelayanan publik, sementara ulama menjaga keteduhan nilai dan etika sosial.
Ketika keduanya berjalan seiring, kota menemukan titik seimbang antara kemajuan fisik dan kematangan moral.
Namun ia menekankan perlunya memperluas ruang dialog antara dua pihak itu. Kolaborasi harus dibangun tidak hanya dalam bentuk pertemuan formal, tetapi dalam percakapan strategis yang jujur, terbuka, dan berorientasi pada kebermanfaatan publik. Dalam bahasa agama, prinsip ta‘awun ‘ala al-birri wa al-taqwa, bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan, menjadi fondasi yang seharusnya mengawal kebijakan.
Dalam konteks pembangunan kota modern, Prof. Tholabi menyoroti narasi smart city yang hari ini semakin populer. Baginya, kecerdasan kota tidak tergantung pada jumlah aplikasi atau kecanggihan sistem digital, melainkan pada akhlak warganya. Ia menyebut “akhlak digital” sebagai tantangan serius: derasnya hoaks, komentar kasar, dan polarisasi opini menunjukkan bahwa teknologi tanpa kedewasaan moral dapat menciptakan ruang publik yang bising dan melelahkan.
Predikat “kota religius” yang disandang Tangsel juga ia maknai secara mendalam. Religiusitas kota, menurutnya, tidak ditentukan oleh seberapa banyak rumah ibadah berdiri, tetapi sejauh mana nilai agama meresap dalam perilaku sehari-hari, seperti kejujuran pegawai, keadilan pelaku usaha, kerukunan keluarga, dan keramahan warga dalam interaksi sosial. Keberagamaan kota diuji oleh karakter publiknya.
Dalam pandangan Prof. Tholabi, ada sejumlah pekerjaan rumah penting, antara lain memperkuat pelayanan publik berbasis integritas, memperluas ruang hijau, memanfaatkan transformasi digital untuk pelayanan masyarakat, serta melibatkan ulama dan tokoh masyarakat dalam perencanaan kebijakan.
Kepada warga Tangsel, ia mengajak untuk membangun rasa memiliki terhadap kota sebagaimana menjaga rumah sendiri, terus menghadirkan keramahan, menyebarkan kesejukan di media sosial, dan berkontribusi sekecil apa pun demi kemaslahatan bersama.











