Jakarta, CoreNews.id – Di tengah kekurangan tenaga profesional keamanan siber, para ahli keamanan informasi (InfoSec) mempertanyakan relevansi pendidikan formal yang mereka terima.
Penelitian global baru Kaspersky mengungkapkan bahwa satu dari dua profesional keamanan siber tidak dapat memastikan manfaat dari masa akademis yang dienyam dalam membantu mereka menjalankan profesinya.
“Akibatnya, para ahli ini harus menginvestasikan sumber daya mereka dalam pelatihan lebih lanjut guna mengatasi lanskap ancaman yang terus berkembang dan mengikuti perkembangan industri,” dikutip dari rilis Kaspersky, 09/02/2024.
Menurut ISC2, organisasi profesional keamanan siber terkemuka di dunia, tenaga kerja keamanan siber yang ada perlu lebih tumbuh hampir dua kali lipat agar dapat beroperasi dengan kapasitas penuh dan mendukung perekonomian global. Untuk mengeksplorasi akar penyebab kekurangan keterampilan keamanan siber saat ini dan kurangnya profesional InfoSec, Kaspersky melakukan penelitian[1] global yang melihat lebih dekat aspek pendidikan dari masalah ini dan pengaruhnya terhadap jalur karir para ahli tersebut.
Banyak pakar InfoSec menyatakan bahwa sistem pendidikan tidak berhubungan dengan realitas keamanan siber, sehingga mengakibatkan kurangnya penerapan dalam pengalaman kerja di kehidupan nyata: hampir semua profesional berpendapat bahwa pengetahuan yang diajarkan di pendidikan formal agak (14%), sedikit (13%) berguna atau tidak berguna sama sekali (24%) dalam menjalankan profesinya.
[1] Penelitian ini dilakukan terhadap 1.012 profesional InfoSec di 29 negara: AS, DACH (Jerman, Austria, Swiss), Inggris, Prancis, Italia, Spanyol, Benelux (Belgia, Belanda, dan Luksemburg), Brasil, Meksiko, Argentina, Kolombia, dan Chili, Arab Saudi, UEA, Turki, Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, India, Jepang, Cina, Malaysia, Singapura, Indonesia, Rusia.