Jakarta, CoreNews.id – Pernah mendengar istilah Kota Layak Anak atau Kota Ramah Anak? Mengutip penjelasan UNICEF, Kota Ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak.
Upaya melahirkan Kota Layak Anak di Indonesia sudah lebih terarah dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Dalam peraturan tersebut dijelaskan, jika Kebijakan KLA bertujuan untuk mewujudkan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Dalam pasal 10 dijelaskan, bahwa pihak-pihak pemerintah memiliki tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab Menteri adalah mengkoordinasikan pelaksanaan Kebijakan KLA. Sedangkan gubernur bertanggung jawab atas terwujudnya KLA di provinsi. Lalu untuk Bupati/Wali Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan KLA di kab/kota. Dalam penyelenggaraannya, bupati/walikota membentuk gugus tugas KLA
Upaya mewujudkan Kota Layak Anak atau Kota Ramah Anak, menjadi salah satu hal yang saat ini perlu diterapkan oleh pemerintah kab/kota. Bukan hanya bertujuan untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan baik global atau nasional, tetapi juga melindungi hak anak.
Sayangnya, hak anak saat ini masih sering dilupakan terutama dalam membangun suatu kota, padahal anak merupakan bagian dari warga kota. Oleh karena itu, saat ini bukan saatnya untuk melupakan hak anak, namun berusaha untuk mewujudkannya. Namun, sering jadi pertanyaan, bagaimana upaya menciptakan Kota Layak Anak atau Kota Ramah Anak?
Untuk mendapatkan jawabannya, Redaksi CoreNews.id mewawancarai, Dr. Hamid Patilima, S.Krim., M.Si.P, yang sejak tahun 2009 sampai saat ini menjadi anggota Tim Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
Dibandingkan saat pertama kali konsep Kota Layak Anak atau Kota Ramah Anak diterapkan di Indonesia, bagaimana perkembangannya, saat ini?
Bila ditelusuri ke belakang, awal pengembangan kabupaten/kota layak anak, sudah sangat jauh berbeda. Sebelumnya konsep dikembangkan melalui hasil penelitian, kemudian diseminar, dan kemudian menjadi hasil dipersentasikan pada rapat kerja di Kementerian Pemberdayaan Perempuan (waktu itu), akhirnya diputuskan uji-coba di 5 kabupaten/kota, Surakarta, Sidoarjo, Jambi, Kutai-Kartanegara, dan Gorontalo pada tahun 2006. Bertambah 10 tahun 2007.

Saat itu, belum ada peraturan menteri yang mengatur, tetapi sudah dasar hukum yang kuat, Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak, UU N0. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UUD 1945 Pasal 28B ayat (2), dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berjalan waktu, sejak 2011 – sampai sekarang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalukan evaluasi dari 514 kabupaten/kota terdapat 459 telah ambil inisiatif untuk mengembangkan kebijakan KLA. Dari jumlah tersebut 360 yang mendapatkan anugerah KLA dengan kategori Pratama 135; Madya 130; Nindya 76; Utama 19, sedangkan Kategori tertinggi KLA belum ada satupun kota yang memperolehnya.
Apa yang mendorong semua kabupaten/kota ambil bagian?
Karena setiap bupati/walikota dan gubernur terikat oleh kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021. Perpres ini lahir karena perintah Pasal 21 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan. Yang intinya, pemerintah daerah wajib dan bertanggungjawab melaksanakan program nasional di bidang perlindungan anak melalui “Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.”
Yang menarik dari UU yang terbit masa Ibu Mega dan diperkuat oleh Pak SBY itu, adalah pada Pasal 22 yang menyebutkan untuk melihat sebuah Kabupaten/Kota Layak Anak lihat saja pada infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang ramah anak; Pasal 24 yang menekanan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah menjamin suara anak didengar sesuai usia dan kecerdasan.
Oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pasal ini diterjemahkan menjadi Forum Anak. Forum Anak ini terbentuk di Pusat, seluruh provinsi, kabupaten/kota, dan sebagian kecamatan, desa, dan kelurahan. Forum Anak memiliki peran sebagai Pelopor dan Pelapor. Selain itu, mereka juga perlu diajak konsultasi pada saat penyusunan kebijakan dan musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang). Dan yang tidak kalah penting, Pasal 72 yang mengikat orang perorang, lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media mewujudkan perlindungan anak.
Sebuah kabupaten/kota mendapatkan kategori Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan KLA ditentukan oleh 24 indikator KLA yang dikelompokan dalam Kelembagaan, Klaster Hak Sipil dan Kebebasan (anak teregistrasi, informasi layak anak, kelembagaan anak), Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif (Pencegahan Perkawinan Anak, Lembaga konsultasi keluarga, PAUD-HI, lembaga pengasuhan alternatif, infrastruktur ramah anak (Zoss dan RBRA), Klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan (Melahirkan di Faskes, Prevalensi Gizi, Pemberian Makan Bayi dan Anak, Puskesmas dengan Layanan Ramah Anak, Air bersih dan Sanitasi, dan Kawasan Tanpa Rokok), Klaster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya (Wajib Belajar 12 Tahun, Satuan Pendidikan Ramah Anak, Pusat Kreatifitas Anak, dan Rumah Ibadah Ramah Anak), dan Klaster Perlindungan Khusus (pencegahan dan penanganan, penanganan kekerasan terhadap anak, penanganan pekerja anak, penanganan anak dengan HIV, porngrafi, dan narkoba, bencana, PMS, Anak disabilitas, Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak minoritas, terisolasi, korban jaringan terorisme, dan anak korban Stigma karena perbuatan orang tua).
Dari capaian indikator tersebut, kita dapatkan gambaran secara keseluruhan sebuah kabupaten/kota dapat anugera KLA dengan kategori Pratama (range nilai 501-600), Madya (range 601-700), Nindya (701-800), Utama (801-900) dan terakhir KLA (901-1000).
Apa yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, terutama Bupati atau Wali Kota?
Adanya penguatan kelembagaan. Bupati/Walikota harus memastikan Gugus Tugas KLA berperan aktif dalam mengoordinasikan setiap Perangkat Daerah untuk mencapai target indikator. Bupati/Walikota harus memastikan Gugus Tugas menyusun Rencana Aksi Daerah KLA yang berisikan program, indikator, target tahunan, dan penanggung jawab. Bupati/Walikota dapat mengecek kinerja setiap pencapaian dari setiap Dinas/Badan, dari evaluasi indikator yang menjadi tanggung jawab dan itu semua terinci dalam RAD.
Sedangkan masing-masing Pimpinan Perangkat Daerah, harus memastikan setiap indikator memiliki dasar hukum (perda/atau turunannya, Perbup/Wal), anggaran, laporan program tahunan, SDM terlatih Konvensi Hak Anak, Pelibatan Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (anak juga ditingkatkan kemampuannya, sehingga mereka dapat berperan dalam penjaringan ide dalam penyusunan kebijakan dan program, keikutsertaan lembaga masyarakat, dunia usaha (Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia), media melalui Jaringan Jurnalis Kawan Anak).
Kunci utama indikator adalah Inovasi. Inovasi ini akan menjadi daya tarik bagi daerah untuk belajar. Dibeberapa daerah ini sudah dikemas menjadi paket daerah untuk studi tiru. Yang sukses Kabupaten Sleman, DIY.
Apalagi yang harus diperhatikan oleh Bupati/Walikota melalui ketua gugus tugas?
Adalah Peraturan Daerah tentang KLA, Profil KLA, dan Rapat koordinasi. Dengan daerah benar-benar menjalankan kebijakan KLA – sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Terencana melalui RAD KLA, menyeluruh semua pihak terlibat, terutama masyarakat, dan berkelanjutan adanya Perda KLA.
Terakhir, dari 38 Provinsi, sudah terdapat 14 Provinsi yang mendapat Anugerah Provinsi Layak Anak. Yaitu Provinsi yang semua kabupaten/kotanya telah menadapatkan anugerah KLA dengan beragam kategori. Provinsi yang dimaksud, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, DKI, Banten, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bali, NTB, Kalimatan Selatan, dan Sulawesi Utara.