Jakarta, CoreNews.id – Reciprocal tariff atau tarif timbal balik adalah kebijakan perdagangan yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump sebagai bagian dari strategi “America First” untuk melindungi industri dan pekerja Amerika Serikat.
Kebijakan ini didasarkan pada prinsip bahwa jika suatu negara mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari AS, maka AS juga akan menerapkan tarif yang sama terhadap barang-barang dari negara tersebut.
Trump berpendapat bahwa banyak mitra dagang AS, seperti China, Uni Eropa, dan Meksiko, telah lama memanfaatkan AS dengan memberlakukan tarif tinggi atau hambatan perdagangan yang tidak adil, sementara AS memberikan akses lebih bebas ke pasarnya.
Penerapan reciprocal tariff bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dan mendorong negosiasi ulang kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan bagi AS. Namun, kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan memicu ketegangan dagang dengan berbagai negara. Misalnya, Uni Eropa dan China merespons dengan menerapkan tarif balasan terhadap produk-produk AS, yang memicu kekhawatiran akan perang dagang yang berkepanjangan.
Selain itu, kebijakan ini juga mendapat kritik dari para ekonom dan pelaku industri di AS. Banyak yang khawatir bahwa tarif timbal balik ini dapat meningkatkan biaya produksi, menghambat investasi, dan menyebabkan kenaikan harga bagi konsumen Amerika. Beberapa sektor, seperti pertanian dan manufaktur, merasa dirugikan karena produk mereka menjadi kurang kompetitif di pasar internasional akibat tarif balasan dari negara lain.
Meskipun menuai kontroversi, Trump dan pendukungnya tetap berpendapat bahwa kebijakan ini adalah langkah yang diperlukan untuk menciptakan perdagangan yang lebih adil dan melindungi kepentingan ekonomi AS dalam jangka panjang.