Jakarta, CoreNews.id – Sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) atas empat pulau tak berpenghuni yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek), memanas sejak upaya pencatatan pulau Indonesia ke PBB pada 2008. Kedua provinsi saling klaim kepemilikan karena ketidaksesuaian data administratif dan koordinat yang berubah-ubah.
Menurut Kemendagri, hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi menunjukkan keempat pulau tidak termasuk dalam 260 pulau yang diverifikasi milik Aceh. Namun, Aceh bersikeras dengan sejarah panjang yang menyebut pulau-pulau tersebut telah masuk wilayahnya sejak 1965 berdasarkan dokumen Inspeksi Agraria dan bukti pembangunan di lapangan.
“Tim Nasional Pembakuan Rupabumi kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau,” Safrizal Zakaria Ali, Dirjen Bina Administrasi Wilayah
Sementara, Sumut baru mencatatkan empat pulau tersebut pada 2008. Berdasarkan jarak geografis yang lebih dekat dengan daratan Tapanuli Tengah (1,2–2,4 km), dibanding Aceh Singkil (78 km), Kemendagri menempatkan keempat pulau sebagai milik Sumut melalui Kepmendagri No.050-145 Tahun 2022. Hal ini ditentang oleh Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Singkil.
“Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah,” Safrizal Zakaria Ali
Dalam survei lapangan, Aceh menunjukkan bukti infrastruktur seperti musala, dermaga, hingga dokumen agraria, sementara Sumut tak memiliki bukti serupa. Pulau Lipan bahkan selalu tenggelam saat pasang, hanya terlihat saat surut.
Polemik semakin pelik karena muncul isu potensi minyak dan gas bumi miliaran barel di sekitar pulau-pulau itu. Namun, BPMA menyatakan belum ada data seismik komprehensif di wilayah tersebut.
“Secara umum, keempat pulau berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh (OSWA). Namun demikian, belum ada cakupan data seismic,” Nasri Djalal, Kepala BPMA
Pakar geospasial dari UGM, I Made Andi Arsana, menilai kesalahan administratif Aceh pada 2008 menjadi kelemahan utama secara legal. Walau bukti historis berpihak ke Aceh, dokumen formal menunjukkan Aceh tak mencantumkan keempat pulau saat itu.
“Karena berarti satu-satunya dokumen legal formal yang ada sekarang adalah ini (Surat Gubernur Aceh Nomor 125/63033 Tahun 2009),” I Made Andi Arsana
Dosen ITS, Raja Oloan Saut Gurning, mendorong pendekatan kompromi seperti garis ekuidistansi dan mempertimbangkan pengelolaan bersama jika benar ada sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan.
Sengketa ini bukan hanya soal administrasi atau geografi, tapi juga menyangkut sejarah, potensi ekonomi, dan kebijakan pusat. Dengan perbedaan data historis, hukum, dan fakta lapangan, penyelesaian damai dan kolaboratif antar provinsi sangat diperlukan agar konflik tidak berlarut.
“Ujung-ujungnya, penetapan batas wilayah akan menentukan kepastian hukum, DAU, dan rencana pembangunan,” Saut Gurning, Guru Besar ITS