Jakarta, CoreNews.id — Besarnya porsi ekonomi informal (shadow economy) serta persoalan tata kelola, termasuk praktik korupsi, menjadi hambatan utama dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Ketergantungan sebuah negara pada sektor-sektor yang sifatnya informal berbanding terbalik dengan besaran tax ratio.
Hal ini disampaikan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal dalam Webinar ISEI, (26/8/2025). Menurut Yon, semua ini membuat keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia ke kisaran 16%-18% dari produk domestik bruto (PDB), sulit terwujud dalam waktu dekat. Terlebih berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, target tax ratio pada 2029 diperkirakan hanya berada di kisaran 11,52%-15,01% dari PDB.
Menurut Yon kembali, terdapat empat kelompok utama yang menentukan besarnya tax ratio. Pertama, faktor pembangunan ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, dan jumlah populasi. Kedua, struktur ekonomi, terutama besarnya porsi sektor informal yang berbanding terbalik dengan tingkat tax ratio. Ketiga, faktor institusional, yang mencakup efektivitas reformasi, tingkat korupsi, kekuatan institusi, dan kepercayaan publik. Keempat, adanya gap pajak yang terdiri dari gap administrasi dan gap kebijakan.
Gap administrasi terjadi ketika penerimaan pajak seharusnya bisa terkumpul, namun gagal terealisasi akibat pemeriksaan atau penagihan yang tidak optimal. Sementara itu, gap kebijakan muncul akibat pilihan pemerintah yang secara sengaja memberikan insentif atau fasilitas pajak tertentu.*