Jakarta, CoreNews.id – Ombudsman RI menemukan empat potensi maladministrasi dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan penyimpangan itu meliputi keterlambatan honorarium staf, konflik kepentingan politik, lemahnya penerapan SOP, hingga pengadaan bahan makanan yang tidak sesuai.
“Di Bogor misalnya, staf inti SPPG seperti ahli gizi dan akuntan dijanjikan honorarium sebesar Rp 5 juta per bulan. Namun realisasinya baru cair setelah 3 bulan sehingga berpengaruh pada motivasi kerja,” kata Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Selasa (30/9/2025).
Keluhan serupa juga terjadi di Garut dan Bandung Barat. Relawan yang rata-rata berjumlah 50 orang per SPPG merasa beban kerja dari dapur hingga distribusi tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima. Di Belitung, guru bahkan harus mengatur distribusi makanan tanpa insentif maupun fasilitas memadai.
Maladministrasi lain yang ditemukan adalah afiliasi yayasan penyelenggara dengan jejaring politik, lemahnya kompetensi dapur dalam penerapan SOP penyimpanan, hingga penyimpangan pengadaan bahan makanan.
“Seperti kasus di Bogor ketika beras medium dengan kadar patah lebih dari 15% diterima meskipun kontrak menyebut beras premium, serta temuan distribusi sayuran busuk dan lauk yang tidak lengkap di sejumlah daerah,” ungkap Yeka.
Ombudsman merekomendasikan agar Badan Gizi Nasional (BGN) memperkuat sistem koordinasi dengan BPOM, Dinas Kesehatan, serta pemerintah daerah. Evaluasi rutin juga diperlukan, termasuk penghentian sementara SPPG yang menyebabkan gangguan kesehatan, serta pembinaan bagi yang belum beroperasi.
Selain itu, partisipasi publik dinilai penting dengan melibatkan lembaga independen serta penggunaan dashboard digital real-time untuk memantau kepatuhan SOP dan kualitas distribusi.