Jakarta, CoreNews.id – Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok 2026 menuai kritik. Sebagai bentuk protes, sejumlah pihak mengirimkan karangan bunga ke kantor Kemenkeu, mulai dari jaringan pemuda Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), organisasi perempuan terdampak rokok, hingga Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI).
Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menilai Purbaya terlalu lunak pada industri rokok.
“Kalau jadi menteri koboi ya silakan Pak, tapi jangan koboi-koboian sama industri rokok, artinya jangan main tarik ulur dengan mereka, kalau mau ya tegas ke semua, termasuk tetap kasih cukai tinggi untuk produk rokok bukan malah nggak naik apalagi diturunkan,” ujarnya, Selasa (30/9).
Menurut Manik, alasan Purbaya yang mendengar masukan industri rokok justru mengabaikan suara masyarakat terdampak.
“Kalau alasan Pak Menteri membatalkan kenaikan cukai rokok karena mendengar masukan dari industri rokok, lalu kapan bapak akan mendengar suara kami yang terdampak? Saat ini sudah hampir 6 juta anak Indonesia menjadi perokok aktif karena murahnya harga rokok,” katanya.
Manik menekankan harga rokok harus mahal demi kesehatan publik. Ia menyebut BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp15,6 triliun pada 2019 untuk penyakit akibat rokok, sementara keluarga miskin rata-rata menghabiskan 12% gaji hanya untuk membeli rokok. WHO sendiri merekomendasikan cukai agar harga rokok minimal 70% lebih mahal.
Dari sisi ekonomi, Daniel Beltsazar Jacob, Advocacy Lead IYCTC, menilai alasan kekhawatiran rokok ilegal tidak tepat.
“Bukti global menunjukkan bahwa rokok ilegal jauh lebih dipengaruhi kelemahan penegakan hukum, rantai suplai gelap, dan kolusi pemain nakal, bukan sekadar tarif cukai yang tinggi,” jelasnya.
Ia menyarankan pemerintah memperkuat peran Bea Cukai lewat sistem track and trace, serta mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk operasi penertiban.
“Solusinya adalah perkuat Bea Cukai dalam track and tracing, dan alokasi strategis DBHCHT untuk operasi penertiban dan penegakan hukum di daerah,” tegas Daniel.
Keputusan Purbaya ini pun menimbulkan pertanyaan: apakah kesehatan publik kalah penting dibanding kepentingan industri?