Jakarta, CoreNews.id – Pemerintah Amerika Serikat kembali mengalami penutupan sebagian (government shutdown) setelah tenggat waktu pendanaan federal berakhir pada Rabu (1/10) pukul 00:01 EDT. Hal ini terjadi akibat kegagalan Demokrat dan Republik di Senat mencapai kesepakatan mengenai rancangan belanja sementara.
Shutdown kali ini menandai yang pertama sejak 2018, dengan dampak langsung pada layanan publik non-esensial. Beberapa sektor yang terdampak termasuk publikasi data ekonomi penting, persetujuan pinjaman usaha kecil, serta program administrasi lainnya. Sementara itu, layanan esensial seperti keamanan nasional, kontrol lalu lintas udara, dan militer tetap berjalan, namun para pekerjanya tidak menerima gaji hingga pendanaan dipulihkan.
Presiden Donald Trump menegaskan bahwa dirinya siap memanfaatkan situasi ini untuk memangkas anggaran dan memperkecil birokrasi. Ia bahkan menyebut shutdown bisa digunakan untuk “menghapus program yang disukai Demokrat”. Ancaman tersebut menuai kritik keras, termasuk dari Richard Painter, mantan penasihat etika Gedung Putih era George W. Bush, yang menyebut langkah itu sebagai taktik otoriter.
Kebuntuan politik berawal dari perbedaan prioritas. Partai Demokrat menolak rancangan Republik yang hanya memperpanjang pendanaan tanpa memasukkan tambahan subsidi kesehatan dan perbaikan Medicaid. Sebaliknya, Republik menolak proposal Demokrat yang menambah belanja lebih dari 1 triliun dolar untuk sektor kesehatan.
Kedua pihak saling menyalahkan. Pemimpin Demokrat di Senat, Chuck Schumer, menuding Republik “menjatuhkan rakyat Amerika ke dalam krisis kesehatan”. Sementara mayoritas Republik menyebut Demokrat hanya bermain politik demi kepentingan basis sayap kiri.
Sejak 1980, pemerintah federal AS telah tutup sebanyak 15 kali. Shutdown terpanjang berlangsung 34 hari pada 2018–2019. Situasi terbaru ini menambah ketidakpastian politik dan ekonomi di tengah ketegangan partisan yang semakin tajam.
Sumber: Al Jazeera.com