Jakarta, CoreNews.id – Permintaan kredit di sektor perbankan Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Fenomena ini tercermin dari kecenderungan bank untuk lebih agresif menempatkan dana likuiditasnya pada instrumen surat berharga, seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), alih-alih menyalurkannya sebagai kredit.
Data terbaru Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, per 2 Oktober 2025 mengonfirmasi tren ini. Kepemilikan perbankan pada SBN rupiah tercatat Rp 1.366 triliun per awal Oktober 2025, meningkat pesat dari akhir 2024 yang sebesar Rp 1.051 triliun. Demikian pula dengan SRBI, kepemilikan bank melonjak menjadi 78,74% dari total pada Agustus 2025, naik drastis dari 60,72% di akhir 2024.
Steffano Ridwan, Presiden Direktur Maybank Indonesia, mengungkapkan bahwa banknya memilih memaksimalkan excess likuiditas ke surat berharga. Kepemilikan surat berharga Maybank tumbuh menjadi Rp 42,2 triliun pada Agustus 2025. Pola serupa terlihat di CIMB Niaga, di mana kepemilikan surat berharga mereka juga naik menjadi Rp 87,9 triliun.
Di balik strategi ini, meski imbal hasil surat berharga konsisten menurun, bank melihatnya sebagai opsi yang lebih baik daripada membiarkan dana menganggur. “Lebih baik untung sedikit daripada tidak sama sekali,” ujar Steffano. Namun, ia menegaskan bahwa pendapatan utama bank tetaplah dari kredit, dan penempatan di surat berharga memiliki batasan tertentu.
Moch Amin Nurdin dari Banking & Finance Development Center (BFDC) menilai surat berharga menjadi pilihan aman di tengah ketidakpastian ekonomi. Ia memproyeksikan kondisi permintaan kredit yang datar ini akan berlanjut setidaknya hingga kuartal I-2026, seiring belum adanya sinyal ekspansi korporasi yang kuat, meski berbagai kebijakan pemerintah baru telah diluncurkan.