Jakarta, CoreNews.id – “Jangan marah.” Itulah wasiat singkat dan mendalam dari Nabi Muhammad SAW ketika seorang sahabat meminta nasihat yang dapat membawanya ke surga. Wasiat universal ini bukan hanya untuk sahabat tersebut, tetapi menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam hingga akhir zaman.
Wasiat yang Diulang untuk Penekanan
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, seorang sahabat datang dan berulang kali meminta, “Nasihatilah aku.” Setiap kali permintaan itu diulang, jawaban Rasulullah SAW tetap sama dan tegas: “Jangan marah.” Pengulangan ini menunjukkan betapa sentralnya pengendalian amarah dalam membentuk kepribadian muslim dan meraih ridha Allah SWT.
Nabi SAW layaknya seorang dokter ulung yang memahami penyakit hati umatnya. Kepada setiap penanya, beliau memberikan resep yang berbeda sesuai dengan kondisi spiritual mereka. Ada yang dinasihati untuk bertakwa, berbakti kepada ibu, atau berjihad. Namun, ketika diminta satu amalan penentu surga, jawabannya adalah mengendalikan amarah.
Mengapa “Jangan Marah” Begitu Penting?
Amarah ibarat api yang dapat membakar semua pahala kebaikan. Dalam sekejap, emosi yang tak terkendali dapat merusak persaudaraan, memecah belah masyarakat, dan menumbuhkan benih permusuhan. Nabi SAW mengajarkan bahwa marah yang dibenarkan hanyalah marah karena Allah—saat kehormatan agama-Nya dinodai, bukan karena urusan duniawi yang sepele atau balas dendam.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-A‘raf [7]:199:
“Jadilah pemaaf, perintahlah pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Ayat ini mengajarkan kita untuk bersikap lapang dada. Orang yang cerdas (al-‘aqil) adalah yang mampu menahan diri, sementara sifat pemarah adalah ciri dari kebodohan.
Teladan Nyata dalam Memaafkan
Sejarah Islam mencatat kisah inspiratif Abdullah bin Zubair. Saat seorang lelaki menghadapnya untuk dihukum, lelaki itu meminta maaf dengan mengingatkannya pada kehinaan di hadapan Allah di akhirat. Seketika itu pula, Ibnu Zubair turun dari singgasananya, menempelkan pipinya ke tanah, dan memaafkan kesalahan tersebut. Ini adalah wujud nyata dari jiwa yang telah berhasil menjinakkan amarahnya.
Hikmah dan Dampak Mengendalikan Amarah
Dengan meneliti dampak buruk amarah, kita akan menemukan betapa ia dapat:
- Mengoyak persatuan dan merusak hubungan sosial.
- Menumbuhkan kebencian dan permusuhan.
- Menghapus pahala kebaikan yang telah dikumpulkan.
Wasiat “jangan marah” dari Nabi Muhammad SAW adalah resep spiritual yang langsung pada inti masalah. Ia adalah kunci menuju ketenangan jiwa, keutuhan masyarakat, dan—yang terpenting—meraih surga dengan izin-Nya. Dengan mengendalikan amarah, kita tidak hanya memuliakan diri sendiri, tetapi juga menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.











