Jakarta, CoreNews.id – Isu transisi energi semakin mendapat perhatian luas di media arus utama sepanjang 2024, namun IESR (Institute for Essential Services Reform) menilai tantangan utama ke depan adalah menjaga konsistensi kebijakan, memperkuat literasi publik dan media, serta membangun narasi yang inklusif dan relevan.
Dalam forum editorial yang digelar IESR, Manajer Komunikasi Uliyasi Simanjuntak memaparkan hasil pemantauan mereka menggunakan Religion Media Analysis terhadap lebih dari 200 ribu berita dari 5.000 media selama 2024. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan pemberitaan isu transisi energi, khususnya menjelang dan setelah pemilu.
“Narasi paling dominan adalah soal konsistensi kebijakan. Pemerintah dan BUMN banyak disorot karena menjadi aktor utama dalam dorongan transisi energi,” ungkap Uliyasi di Jakarta, Rabu (26/6/2025).
Menurutnya, sentimen pemberitaan sebagian besar positif karena mengacu pada upaya dan program pemerintah serta BUMN dalam pengembangan energi terbarukan. Namun isu-isu seperti kesenjangan pendanaan hijau, efektivitas carbon capture, hingga proses penciptaan konsorsium pendanaan seperti GERPI, tetap menjadi perhatian media.
Media juga mencermati tantangan transisi pemerintahan, termasuk keterlibatan figur politik dalam narasi energi. Nama Presiden Prabowo dan tokoh masyarakat seperti Suroto Santoso dari Queen menjadi aktor penting dalam pemberitaan, meskipun dominasi pejabat publik masih mendominasi.
“Ini seharusnya jadi peluang agar tokoh-tokoh masyarakat sipil juga bisa ikut mengangkat isu transisi energi,” tambahnya.
Uliyasi menyoroti rendahnya literasi jurnalis dan publik terhadap isu transisi energi. Istilah teknis yang rumit serta narasi yang terlalu tersentral di Jakarta membuat isu ini sulit dipahami publik luas. Oleh karena itu, IESR mendorong pembuatan narasi yang lebih mudah dicerna dan dekat dengan keseharian masyarakat seperti energi dan biaya hidup.
Sementara itu, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, menekankan bahwa transisi energi bukan semata isu teknologi atau ekonomi, melainkan kebutuhan mendesak mengingat dampak nyata dari krisis iklim terhadap Indonesia.
“Kita salah satu negara yang paling rentan secara geografis dan sosial-ekonomi. Cuaca ekstrem, gagal panen, menurunnya hasil laut, ini bukan lagi isu masa depan,” ujarnya.
Deon memaparkan data konsentrasi CO₂ di atmosfer yang kini mencapai 420 ppm, jauh melampaui siklus alami bumi dalam 800 ribu tahun terakhir. Jika tren saat ini terus berlanjut, dunia diperkirakan menuju kenaikan suhu global hingga 3,4°C, dengan potensi heatwave hingga 300 hari per tahun.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara pengemisi secara total, dan perlu menurunkan emisi hingga 28% dari baseline 2019 hanya dalam lima tahun ke depan, target yang sangat sulit dicapai tanpa kebijakan transformatif.
“Kalau kita menunggu negara maju, kita akan terus tertinggal. Padahal dampaknya kita yang tanggung. Ini bukan soal menentang pertumbuhan, tapi soal pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan,” tegasnya.
Deon juga menekankan pentingnya mengaitkan isu transisi energi dengan narasi besar pemerintah seperti ketahanan ekonomi dan pangan, agar lebih resonan dengan masyarakat luas dan pemangku kepentingan.
Tambahan, Forum editorial ini merupakan wadah diskusi antara IESR dan insan media untuk memperkuat narasi publik terkait transisi energi yang bukan hanya berdimensi teknis, tapi juga sosial, ekonomi, dan lingkungan.