Jakarta, CoreNews.id – Dalam keseharian, godaan untuk marah selalu menghadang. Kemacetan, tekanan kerja, atau salah paham dengan orang terdekat dapat dengan mudah memicu emosi. Luapan kemarahan, baik dalam kata maupun perbuatan, seringkali meninggalkan penyesalan dan merusak hubungan.
Menariknya, Rasulullah SAW telah memberikan solusi mendasar untuk persoalan universal ini melalui sebuah wasiat yang singkat namun sangat dalam. Wasiat ini disampaikan bukan hanya sekali, tetapi berulang kali kepada sahabatnya, menegaskan betapa pentingnya pesan ini.
Wasiat Singkat yang Penuh Makna
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, seorang sahabat bernama Abu Hurairah RA bercerita:
Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Berilah aku wasiat.” Rasulullah menjawab, “Engkau jangan marah.” Laki-laki itu mengulangi permintaannya beberapa kali, dan setiap kali Nabi bersabda, “Engkau jangan marah.”
Bayangkan, sang sahabat mungkin mengharapkan daftar panjang amalan. Namun, Nabi SAW justru memilih satu pesan yang tampaknya sederhana: “Jangan marah.” Pengulangan nasihat ini menunjukkan bahwa mengendalikan marah bukanlah perkara mudah, tetapi ia adalah pangkal dari segala kebaikan dan benteng dari segala kejahatan.
Mengapa “Jangan Marah” Begitu Penting?
Dalam kitab Syarah Arba’in An-Nawawi, dijelaskan bahwa marah ibarat bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Saat marah menguasai akal, perubahan drastis terjadi:
- Fisik: Wajah memerah, dada terasa membara, dan urat saraf menegang.
- Ucapan: Mulut mudah mengeluarkan kata-kata kotor, cacian, fitnah, dan umpatan yang menyakiti.
- Tindakan: Perilaku menjadi tidak terkendali, tidak masuk akal, bahkan cenderung merusak.
Marah didefinisikan sebagai gejolak darah dalam hati untuk menolak gangguan atau untuk balas dendam. Dari sinilah segala bentuk kezaliman bermula. Mulai dari memukul, menyakiti, hingga—dalam tingkat paling parah—pembunuhan dan perkara yang mengarah pada kekufuran.
Dengan melarang marah, Nabi SAW secara tidak langsung memerintahkan kita untuk:
- Menjaga lisan dari keharaman.
- Menjaga tangan dari menyakiti.
- Menjaga hati dari dendam dan permusuhan.
- Menjaga akal untuk tetap jernih dalam mengambil keputusan.
Kiat Praktis Menahan Marah Ala Rasulullah SAW
Lalu, bagaimana mengamalkan wasiat “jangan marah” ini? Nabi SAW tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan panduan untuk meredamnya:
- Minta Perlindungan kepada Allah dari Godaan Setan
Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang marah, lalu dia mengucapkan: A’udzu billahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk), niscaya kemarahannya akan reda.” (HR. Muslim). Ini adalah langkah pertama dan paling utama. - Mengubah Posisi
Nabi SAW memberikan nasihat, “Apabila salah seorang di antara kamu marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika kemarahannya belum juga reda, maka berbaringlah.” (HR. Ahmad). Perubahan posisi fisik membantu meredakan tensi dan memberi waktu untuk berpikir ulang. - Diam dan Menjaga Lisan
Sabda Beliau, “Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia diam.” (HR. Ahmad). Diam adalah senjata ampuh untuk mencegah meluasnya kerusakan akibat kata-kata yang dilontarkan saat emosi. - Berwudhu
“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Api hanya bisa padam dengan air. Maka, jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah dia berwudhu.” (HR. Abu Daud). Wudhu tidak hanya mendinginkan tubuh, tetapi juga menenangkan hati dan menyadarkan kita untuk kembali mengingat Allah. - Refleksi dan Evaluasi Diri
Luangkan waktu sejenak untuk merenung. Apakah hal yang memicu marah ini penting? Apa konsekuensi jika saya meluapkan kemarahan? Renungan ini membantu melihat masalah dari sudut pandang yang lebih luas.
Meraih Kedamaian dengan Menahan Marah
Wasiat “jangan marah” dari Nabi Muhammad SAW adalah hadiah berharga bagi umatnya. Ia bukan tanda kelemahan, tetapi justru bukti kekuatan iman dan kematangan diri. Dengan berusaha keras menahan marah, kita melindungi diri dan orang lain dari bahaya, menjaga hubungan silaturahmi, dan meraih kedamaian hati yang merupakan sumber kebahagiaan sejati.
Marilah kita jadikan nasihat yang diulang-ulang ini sebagai pengingat constant dalam hidup: untuk mengambil napas dalam, berlindung kepada Allah, dan memilih untuk tidak marah—sebuah jalan pasti menuju ketenangan jiwa dan kemuliaan akhlak.
Sumber: Republika













