Jakarta, CoreNews.id — Industri baja nasional tahun 2026 diproyeksikan masih tertekan. Konsumsi domestik diperkirakan belum pulih sepenuhnya, sektor konstruksi masih melemah. Sementara itu, tekanan impor tetap tinggi dan mencapai sekitar 55% dari kebutuhan nasional. Pada saat ini, dominasi produk baja impor terutama dari Cina telah mempersempit ruang pemulihan manufaktur baja nasional.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Harry Warganegara di Jakarta (29/12/2025). Menurut Harry, lonjakan impor baja dari Cina sesungguhnya didorong oleh disparitas harga akibat kebijakan subsidi di negara asal. Produk impor masuk ke pasar domestik dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Seperti contohnya, harga Hot Rolled Coil (HRC) Cina dicatat turun dari US$ 858 per ton pada 2022 menjadi sekitar US$ 549 per ton pada triwulan III 2025, mendorong lonjakan pangsa impor HRC dari 8% menjadi 32%.
Adanya tekanan impor baja tersebut mulai berdampak pada keberlanjutan industri dan tenaga kerja, salah satunya ditandai penutupan pabrik PT Ispat Indo pada Agustus 2025. IISIA menilai prospek 12–18 bulan ke depan akan sangat bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor baja, khususnya dari Cina, melalui pengamanan perdagangan, penegakan SNI wajib, dan kebijakan P3DN. Tanpa intervensi yang kuat dan konsisten, banjir baja murah berisiko terus melemahkan daya saing dan struktur industri baja nasional.*













