Jakarta, CoreNews.id – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penyiaran menuai kritik. Draf RUU itu bukan hanya untuk penyiaran konvensional seperti TV dan radio, namun juga penyiaran digital.
Undang-Undang Penyiaran yang tengah ‘digodok’ menimbulkan keresahan bagi insan pers karena dinilai dapat membungkam kebebasan pers.
Berikut beberapa pasal yang menuai kontroversi:
1. Larang Jurnalisme Investigasi
Dalam pasal 50B ayat dua huruf melarang penayangan ekslusif jurnalistik investigasi.
“Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” isi pasal tersebut.
2. Bungkam Kebebasan Pers
Pasal lain yang jadi kontroversi adalah pasal 50B ayat dua huruf k.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJT), Herik Kurniawan menilai, pasal 50B ayat dua multitafsir terlebih ada pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI memandang pasal yang multitafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam serta mengkriminalisasi jurnalis.
“Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, SIS memuat larangan mengenai isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme-terorisme,” demikian isi pasal tersebut.
3. KPI Selesaikan Sengketa
Poin lain yang jadi keberatan dari organisasi jurnalis televisi adalah pasal 42 ayat 2 dan pasal 25 huruf q. Pada pasal tersebut disebutkan, penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus penyiaran,” bunyi ayat tersebut.
IJTI memandang penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional. Apalagi KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politis di DPR