Jakarta, CoreNews.id – Adu klaim program hilirisasi nikel antara Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemuka. Jokowi keukeuh bahwa program hilirisasi memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia. Menurut hitungan presiden, nikel saat diekspor mentahan, setahun kira-kira [nilai tambah] hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial down streaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Hal ini disampaikannya kepada wartawan di Stasiun LRT Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023).
Dalam blog pribadinya (11/8/2023), Faisal Basri menepis pernyataan presiden. Faisal kembali mempertanyakan angka Rp510 triliun yang disebut oleh Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah pasca hilirasi nikel. Namun ia tidak menampik bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Bahkan ekspor dari hasil hilirisasi melonjak hingga 414 persen.
Hanya saja, Faisal Basri berargumentasi bukan Indonesia yang menikmati nilai tambah tinggi tersebut, namun pihak China sehingga dapat mendukung industrialisasi di China. Nilai tambah bagi pertumbuhan nasional hanya sekitar 10 persen. Hal ini karena Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, 99 persen dari NPI diekspor ke China. Faisal juga melihat tidak semua uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Sebab hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri. Terakhir, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya, melalui tax holiday maupun royalti sehingga tidak memberi pemasukan bagi negara.*