Jakarta, CoreNews.id – Dalam rangka menandai 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok, sejumlah pakar dan perwakilan pemerintah menyoroti peluang dan tantangan dalam kerja sama kedua negara, khususnya dalam isu perubahan iklim dan geopolitik kawasan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bima Yudhistira, menilai bahwa sektor energi (bukan hutan) seharusnya menjadi fokus utama dalam pasar karbon Indonesia. Menurutnya, baik Indonesia maupun Tiongkok kini tengah mengarahkan perhatian ke sektor kelistrikan, meskipun sektor industri baja yang menyumbang lebih dari 11% emisi karbon global masih belum tersentuh secara optimal.
“Jika bicara kolaborasi konservasi hutan antara Tiongkok dan Indonesia, banyak hal yang masih perlu dikerjakan. Salah satunya adalah pendekatan berbasis solusi alam yang bisa mendatangkan pendanaan ke komunitas lokal serta meningkatkan kesejahteraan sosial,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Continuity & Change: China-Indonesia Relations at 75 di Kawasan Menteng, Rabu (30/4/2025).
Bima juga menekankan pentingnya akuntabilitas perusahaan Tiongkok yang beroperasi di luar negeri, khususnya di sektor kehutanan. Ia menilai, meskipun pemerintah Tiongkok sangat tegas dalam menangani kasus korupsi domestik, pengawasan terhadap perusahaan yang berinvestasi di luar negeri belum seketat itu. “Perusahaan yang terlibat dalam deforestasi karena ekspansi perkebunan sawit, misalnya, seharusnya bisa dikenakan sanksi,” tegasnya.
Salah satu peluang kerja sama strategis yang disarankan adalah pengembangan fasilitas hutan tropis berbasis mekanisme insentif dan penalti. Dalam skema ini, reforestasi bisa mendapat dukungan finansial, sementara deforestasi diberi sanksi. Bima menyarankan pembentukan kerja sama trilateral antara Indonesia, Tiongkok, dan negara ketiga seperti Inggris, yang bisa menyumbang sebagian keuntungan dari proyek kehutanan untuk mendanai pelestarian hutan di Kalimantan atau Papua.
Namun, ia menilai kerja sama lintas negara dalam pasar karbon saat ini masih belum berjalan dengan optimal. “Permasalahannya bukan hanya dominasi G7 atau pasar karbon Uni Eropa, tapi bagaimana perusahaan Tiongkok yang membeli karbon Indonesia bisa mengkalkulasi dan mengklaimnya secara resmi di negaranya. Ini belum ada mekanisme yang kuat,” katanya.
Di sisi lain, Fungsional Madya Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri Dino R. Kusnadi menyoroti hubungan Indonesia dan Tiongkok dalam konteks keanggotaan di Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO). Hingga kini, Indonesia belum memiliki rencana untuk bergabung sebagai anggota tetap.
“Saat ini kami lebih sering hadir sebagai undangan dalam kegiatan SCO. Keputusan bergabung tidak diambil sembarangan, ada banyak faktor yang dipertimbangkan, termasuk manfaat dan relevansinya dengan kepentingan Indonesia,” bebernya.
Ia menambahkan bahwa fokus Indonesia masih berada dalam kerangka ASEAN, dan SCO sendiri lebih bersifat regional-kontinental, bukan maritim seperti Asia Tenggara. “Hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok sudah sangat baik. Jika diundang, kami bersedia hadir sebagai tamu, tapi tidak dalam waktu dekat untuk menjadi anggota penuh,” pungkasnya.