Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, CoreNews.id – Idul Adha bukan sekadar hari besar keagamaan yang dirayakan dengan penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, ia adalah panggung spiritual tempat manusia diuji pada tingkatan paling tinggi yakni: keikhlasan, ketaatan, kepedulian, dan kerelaan berkorban.
Kisah agung Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadi pondasi syariat kurban adalah simbol abadi bahwa keimanan tidak hanya ditakar dari ritual, melainkan dari keberanian meninggalkan sesuatu yang paling dicintai demi perintah Tuhan.
Kisah ini tidak berhenti pada sejarah dan ibadah tahunan semata. Ia menuntut aktualisasi. Ketika nilai-nilainya digali lebih dalam, kita mendapati bahwa semangat kurban seharusnya menjiwai arah pembangunan masyarakat.
Hal ini sebagaimana yang saya sampaikan dalam khotbah Idul Adha 2025, nilai kurban yang meliputi ikhlas, taat, peduli, dan rela berkorban sangat relevan dengan cita-cita masyarakat Kota Tangerang Selatan yakni menjadi masyarakat yang cerdas, modern, dan religius.
Pondasi Masyarakat Beradab
Nabi Ibrahim tidak tawar-menawar dengan wahyu. Ismail pun tidak menggugat keputusan Tuhan. Keduanya tunduk dalam keikhlasan dan ketaatan mutlak. Dalam konteks kekinian, sikap semacam ini menjadi barang langka. Banyak yang menampilkan kebaikan sebagai etalase, bukan pengabdian. Agama diritualkan tetapi tidak dielaborasi dalam sikap hidup. Maka, penting menumbuhkan keikhlasan sebagai niat utama dalam berbuat.
Dalam membangun masyarakat cerdas, ikhlas menjadi energi dasar. Seorang pendidik, misalnya, yang mengajar bukan karena tunjangan, melainkan karena panggilan jiwa, akan membentuk generasi pembelajar yang tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter.
Demikian pula dengan ketaatan, ia bukan sebatas mengikuti aturan agama, tapi mencakup disiplin dalam bekerja, tanggung jawab dalam profesi, dan konsistensi dalam integritas publik.
Ikhlas dan taat menjadi jembatan menuju kualitas hidup yang lebih baik. Ia mengikis egoisme dan membuka ruang bagi dedikasi. Nilai-nilai ini menjadi tiang penyangga bagi masyarakat cerdas yang tidak hanya pandai, tetapi juga jujur dan adil.
Meneguhkan Jiwa Sosial
Salah satu esensi kurban adalah berbagi. Ibadah ini tidak hanya melatih memberi, tetapi juga mengajarkan bahwa harta bukan milik mutlak, melainkan amanah. Ketika daging kurban didistribusikan kepada fakir miskin, itu bukan sekadar sedekah, tapi bentuk konkret dari solidaritas sosial. Kurban membongkar tembok antara si kaya dan si miskin, menghadirkan kesetaraan dalam rasa dan hak.
Di sinilah nilai kepedulian menemukan relevansinya. Dalam masyarakat urban seperti Tangsel, jurang sosial kerap tersamar oleh kilau pembangunan. Namun, jika nilai kurban diinternalisasi, maka warga tidak hanya sibuk dengan peningkatan kualitas pribadi, tetapi juga peka terhadap kebutuhan lingkungannya.
Kerelaan berkorban melengkapi kepedulian ini. Sebab tidak ada perubahan tanpa pengorbanan. Di tengah arus individualisme, sikap rela mengesampingkan kepentingan pribadi demi maslahat publik adalah kemewahan moral.
Relawan lingkungan, guru di pelosok, bahkan aparat yang bekerja tanpa pamrih, adalah wajah-wajah kurban yang sebenarnya. Kurban bukan hanya menyembelih kambing, tapi menyembelih ego, keserakahan, dan keengganan berbagi.
Membumikan Nilai Kurban
Tangerang Selatan, sebagai kota yang menjadikan “Cerdas, Modern, dan Religius” sebagai orientasi pembangunan, memiliki ladang subur untuk menanam nilai-nilai kurban. Tantangannya adalah bagaimana agar slogan tidak menjadi jargon kosong.
Dalam konteks kecerdasan, nilai kurban melatih kemampuan berpikir reflektif bahwa hidup bukan hanya tentang “apa yang bisa kita dapat”, tetapi juga “apa yang bisa kita beri.” Orang yang ikhlas dan taat memiliki intelektualitas yang tidak pongah, melainkan rendah hati. Mereka belajar tidak untuk sombong, tapi untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konteks modernitas, nilai-nilai kurban menuntun arah agar kemajuan tidak lepas dari kemanusiaan. Teknologi, seperti kecerdasan buatan, memang menawarkan efisiensi. Namun jika tidak dibingkai oleh keikhlasan dan kepedulian, ia bisa menjadi alat eksploitasi dan peminggiran. Maka, etika kurban mengajarkan bahwa kemajuan harus menyejahterakan, bukan memarjinalkan.
Dalam konteks religiusitas, nilai kurban menjadi inti spiritual yang menghidupkan akhlak dalam keseharian. Religiusitas yang tidak hanya tampak dalam poster kegiatan atau atribut visual, melainkan dalam kejujuran birokrasi, kesantunan warga, dan komitmen kolektif terhadap nilai-nilai kebaikan.
Pada akhirnya, kurban perlu dipahami bukan sebagai kewajiban ibadah semata, melainkan sebagai gerakan kebudayaan. Ia adalah instrumen pendidikan karakter, yang jika dibumikan dalam kehidupan sosial, akan menciptakan masyarakat yang tangguh.
Keluarga menjadi titik awal aktualisasi. Di rumah, nilai rela berkorban hadir saat orang tua mendahulukan pendidikan anak daripada kesenangan pribadi. Di tempat kerja, nilai peduli tampak ketika rekan saling menopang dalam tugas. Di ruang publik, nilai taat hadir ketika masyarakat patuh pada aturan demi kepentingan bersama.
Dalam skala negara, jika semangat kurban hidup di dalam para pejabat dan pemimpin, maka orientasi kebijakan tidak akan semata pada elektabilitas atau kekuasaan, tetapi pada pelayanan dan pengabdian.
Ikhtitam
Nilai-nilai kurban adalah energi sosial yang, jika dirawat, akan menumbuhkan masyarakat yang tidak hanya cerdas secara akademik, modern secara infrastruktur, dan religius secara simbolik, tetapi juga bijak, berempati, dan bermartabat. Tangsel, dan Indonesia secara luas, membutuhkan manusia-manusia yang menghidupi nilai kurban secara nyata.
Kurban bukan tentang kambing atau sapi. Ia tentang hati yang bersedia memberi, pikiran yang siap mendengarkan, dan tangan yang mau bekerja. Dengan semangat kurban, kita bisa membangun peradaban: satu keluarga, satu komunitas, dan satu bangsa dalam harmoni.
*) Disarikan dari Khotbah Idul Adha 1446 H di Islamic Center Baiturrahmi Kota Tangerang Selatan oleh Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie.