Jakarta, CoreNews.id – Amnesti dan Abolisi untuk dua terdakwa korupsi, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, menuai kritik tajam dari kalangan akademisi, mantan penyidik KPK, dan masyarakat sipil. Keputusan Presiden Prabowo Subianto itu dinilai mencederai semangat pemberantasan korupsi dan mengkhianati prinsip keadilan hukum.
“Hukum sedang dipermainkan. Kalau mau memaafkan Hasto dan Tom kenapa harus begini amat: drama di pengadilan dulu. Kenapa enggak sedari awal saja. Bukankah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di bawah Presiden,” ujar Feri Amsari, pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Jumat (1/8).
Ia mengingatkan bahwa keputusan tersebut akan menjadi preseden buruk. “Ujung-ujungnya orang capek dengan segala drama peradilannya, tapi nanti akan ada pahlawan politiknya di belakang layar,” tegasnya.
Senada, akademisi dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro menyebut pemberian amnesti dan abolisi ini sebagai tindakan “keliru dan harus dikritik.” Menurutnya, pemberian pengampunan atas nama persatuan adalah alasan yang tidak beralasan.
“Amnesti dan abolisi seolah-olah dijadikan alat kompromi politik,” ujarnya.
Castro menegaskan konteksnya sangat berbeda dengan masa reformasi. “Ini perkara korupsi loh ya. Itu mesti ditegaskan. Ini perkara korupsi. Dan rasanya belum ada tuh perkara korupsi yang diberikan amnesti dan abolisi mengingat derajat yang dilakukan. Jadi, keliru itu,” tambahnya.
Mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan juga menyampaikan kekecewaannya. “Saya prihatin dan kecewa ketika mendengar amnesti dan abolisi digunakan pada perkara tindak pidana korupsi,” ujar Novel.
Menurutnya, langkah ini kontradiktif dengan pidato Prabowo yang berjanji akan memberantas korupsi. “Justru ini akan membuat kesan pemberantasan korupsi tidak mendapat tempat atau dukungan dari pemerintah dan DPR,” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai pemberian amnesti dan abolisi terhadap terdakwa kasus korupsi sebagai “bentuk terang benderangnya upaya mengakali hukum yang berlaku.”
“Ke depan, politisi tidak akan takut melakukan korupsi karena penyelesaian dapat dilakukan melalui kesepakatan politik,” ungkap Lakso.
Ia menyerukan agar masyarakat menolak keputusan tersebut. “Tindakan ini harus ditolak secara masif karena apabila dibiarkan akan berakibat pada runtuhnya bangunan rule of law dan bergantinya menjadi rule by law atas proses penegakan hukum di negeri ini,” tegasnya.
Menurut Lakso, keputusan ini menandakan Presiden “tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan hanya omon-omon saja.”