Hanafi Tasra, Aktifis Dakwah
Jakarta, CoreNews.id – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Nabi terakhir yang diutus Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke muka bumi.(QS.Al-Ahzab/33: 40).
Disamping itu, syari’at yang diemban beliau, bersifat penyempurna dari syari’at para Nabi sebelumnya. Dan syari’at beliau sendiri dinyatakan sudah sempurna oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (baca QS Al-Maidah/5: 3).
Dalam upaya merealisasikan syari’at agar efektif sampai ke umat yang menjadi sasaran da’wahnya, diperlukan sifat kepemimpinan. Untuk keperluan itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membekali para Nabi dengan sifat-sifat mulia.
Sungguh pun setiap Nabi mempunyai bekal yang sama, namun masing-masing memiliki keistimewaan atau keunggulan. Nabi Adam, unggul dengan kecerdasannya. Beliau mampu mengembangkan konsep-konsep yang diajarkan Allah. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh Malaikat. Sehingga Malaikat harus mengakui keunggulan Nabi Adam (baca QS.Al-Baqarah/2: 30).
Nabi Nuh, unggul dengan kesabarannya dalam menda’wahi umatnya. Siang malam beliau jalani. Banyak duka ketimbang sukanya. Memakan waktu, mendekati 1.000 tahun, persisnya 950 tahun (QS.Al-‘Ankabut/29: 14), tetapi jumlah pengikutnya hanya berkisar 10 – 40 orang. Sedangkan riwayat lain yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: “Mereka adalah 80 orang bersama isteri”.(Muhammad Ali Ash-Shabuni, an-Nubuwwah wa al-Anbiya’, 1980).
Nabi Ibrahim, unggul dengan kepatuhannya yang tak terhingga kepada AllahSubhanahu Wa Ta’ala (QS An-Nahl/16: 120). Apa saja yang diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadanya, dilaksanakannya dengan baik dan tuntas. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengangkatnya sebagai Imam atau pemimpin. Yang menarik adalah sewaktu Nabi Ibrahim dikukuhkan sebagai Imam, beliau bermohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar anak cucunya pun kelak mengikuti jejaknya sebagai Imam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala langsung menjawab: “Aku tidak menjanjikan jabatan Imam (pemimpin) bagi anak cucumu yang Zhalim”. (QS. Al-Baqarah/2: 124). Itu artinya, zionis laknatullah yang mengklaim keturunan nabi Ibrahim, tidak mendapatkan rekomendasi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadi pemimpin.
Nabi Musa, menonjol pada keberaniannya. Sekalipun beliau sekian lama tinggal di Istana Fir’aun, menjadi anak asuhnya, tetapi ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi perintah untuk menyadarkan Bapak asuhnya itu, beliau laksanakan dengan baik bersama saudaranya, Harun.(QS Thaha/20: 47-55).
Nabi Daud, unggul dengan kemampuan dan kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi umatnya (QS Shad/38: 17-20).
Keunggulan nabi Isa adalah pada kelembutan dan kepenyayangan terhadap umatnya. Di hari kiamat nanti, ketika nabi Isa dimintai kesaksiannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengenai umatnya yang mempertuhan dirinya dan ibunya, maka diakhir narasi pertanggung jawaban beliau kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beliau menyatakan dengan lembut, seakan-akan memohon kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengampuni dosa umatnya, dengan pertimbangan bahwa mereka hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga (QS Al-Maidah/5: 118).
Semua keunggulan para nabi yang disebutkan diatas, kecerdasan, kesabaran, kepatuhan, keberanian, kebijaksanaan dan kelembutan, yang menjadi syarat bagi seorang untuk menjadi pemimpin, ada dan dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh itu, sifat kepemimpinan beliau sangat sempurna. Dimaksudkan dengan sangat sempurna, karena kepeduliannya yang sangat tinggi, perhatiannya yang sangat dalam, terhadap nasib umatnya, dan memimpin dengan visi jauh ke depan, yaitu dunia dan akhirat.
Dengan bahasa lain, beliau sangat peduli dengan kebahagiaan umatnya dalam kehidupan dunia, dan kebahagiaan umatnya di akhirat nanti.
Firman Allah dalam surat At-Taubah/9: 128 mengakui sifat kepemimpinan beliau: “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan kamu beriman, dia penyantun dan penyayang bagi orang-orang yang beriman”.
Inilah model kepemimpinan yang seyogyanya diwujudkan oleh umat Islam sepeninggal nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai bentuk manifestasi penauladanan kita terhadap sunnah beliau.
Ini pula model kepemimpinan yang oleh Al-Qur’an dinyatakan sebagai yang membimbing umat berdasarkan perintah/ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS Al-Anbiya’/21: 72-73). Dan terjauh dari model kepemimpinan yang mengajak orang ke neraka, tetapi, sejak di dunia sudah mendapat kutukan. Figur utamanya adalah Fir’aun beserta penerusnya.(QS.Al-Qashas/28: 40-42).
Jadi nampak dengan jelas bahwa dalam Islam, soal kepemimpinan bukanlah sekedar urusan dunia yang terlepas dari Dien (sistem ajaran Islam), tetapi ia merupakan sisi penting dari bangunan Islam secara keseluruhan. Dan ia masuk dalam aspek muamalah.
Itu sebabnya mengapa Al-Qur’an melarang dengan tegas, umat Islam mengangkat orang Yahudi, Nasrani dan orang kafir sebagai pemimpin.(QS Al- Ma’idah/5: 51 dan 57). Mengapa? karena di bawah kepemimpinan orang kafir, umat Islam tidak akan beroleh bimbingan menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dunia, dengan demikian umat Islam akan ikut dalam sistem mereka. Inilah yang oleh Al-Quran diingatkan: “… Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Bagaimana di akhirat nanti? Mereka, pemimpin dan yang dipimpin akan bertengkar, saling salah menyalahkan, dan menyesali sikap mereka ketika di dunia dulu. Pengikut menuntut pertanggungjawaban dari pemimpinnya, sementara pemimpinnya berlepas tangan dari pengikutnya (QS. Al-Baqarah/2: 166,167).
Oleh karena itu, dari sekarang mari kita mulai membangun kesadaran kepemimpinan dengan model kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang sudah mendapatkan pengakuan dan jaminan keamanan, kedamaian dan kesejahteraan dari Allah Ta’ala. Bukankah beliau diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alauntuk kita contoh tauladani? (QS. Al-Ahzab/33: 21)
Menerapkan model kepemimpinan semacam ini, dengan sendirinya akan melahirkan institusi sosial yang mantap, yang menjanjikan kemenangan, dimana Al-Qur’an menyebutnya dengan Hizbullah atau golongan pro Allah.
Sementara model kepemimpinan selain dari Hizbullah, Al-Qur’an menamainya, Hizbus Syaithan atau golongan pro Syaithan, golongan yang tidak akan memperoleh kemenangan, melainkan hanya kerugian.(QS Al-Mujadilah/58: 19-22).
Selamat membangun kesadaran untuk menjadi golongan Pro Allah.
Semoga Allah Ta’ala melindungi. Dan kalau Allah sudah melindungi, maka dunia yang tadinya gelap menjadi terang.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 257, menyatakan :”Allah Pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah syaithan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”.
Jakarta, 03 Rabiul Akhir 1446/26 September 2025
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi CoreNews.id