Jakarta, CoreNews.id – Baru-baru ini, dunia keuangan mencatat sebuah momen bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun, cadangan emas yang dipegang bank-bank sentral seluruh dunia secara gabungan telah melampaui kepemilikan mereka atas surat utang Amerika Serikat (Treasuries).
Apa artinya ini? Mengutip sejumlah sumber, singkatnya, para pengelola uang negara-negara di dunia mulai lebih memilih logam mulia yang nyata ketimbang sekeping kertas utang berbasis dolar AS.
Dari Era Dolar Kembali ke Emas
Tren ini bukanlah kebetulan. Setelah sempat tergila-gila dengan suku bunga tinggi dan likuiditas surat utang AS pada era 80-90an, para bankir sentral kini berbalik arah. Sejak 2022, mereka membeli emas secara agresif, bahkan memecahkan rekor.
Apa yang dicari? Daya tahan, netralitas, dan kestabilan. Emas dianggap sebagai “safe haven” atau pelindung kekayaan di tengah ketidakpastian politik dan geopolitik yang meningkat. Harga emas yang menembus $4.000 per ons pada Oktober 2025 menjadi bukti nyata dari desakan ini.
Lalu, Apa Makna Di Balik Pergeseran Ini?
Perubahan ini adalah sinyal kuat dari “diversifikasi”. Alih-alih hanya mengandalkan imbal hasil dari surat utang AS, bank sentral kini lebih mengutamakan aset berwujud yang tidak bergantung pada kebijakan satu negara tertentu.
Negara-negara seperti China, Rusia, dan Turki menjadi pelopor dalam gerakan ini. Mereka secara konsisten menambah porsi emas dalam cadangan devisa mereka, mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Intinya, ini adalah babak baru dalam sistem keuangan global. Uang tunai dunia sedang beralih dari sekadar kertas janji ke sesuatu yang lebih nyata: emas. Sebuah langkah kembali ke aset dasar yang telah teruji selama ribuan tahun.











