Jakarta, CoreNews.id – Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan. Ia menegaskan komunikasi dengan MUI telah dibangun sejak September 2024.
“Sebenarnya bulan September kami sowan ke MUI. Kemudian kami juga melakukan FGD dengan Komisi Fatwa MUI yang diketuai oleh Profesor Niam,” kata Bimo dalam media gathering di Denpasar, Bali, Selasa (25/11/2025).
Bimo menjelaskan bahwa anggota Komisi Fatwa MUI memahami penjelasan terkait ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Karena itu, menurutnya, “pada dasarnya tidak ada polemik antara DJP dengan MUI.”
Ia mengatakan nilai keadilan yang menjadi perhatian para ulama sejalan dengan prinsip perpajakan nasional. Salah satunya ialah tidak ada pengenaan pajak di luar kemampuan wajib pajak. Ia mencontohkan mekanisme penghasilan tidak kena pajak (PTKP) serta threshold PPN.
Untuk UMKM, Bimo menegaskan batasan omzet menjadi acuan penting. “Untuk UMKM juga sudah ada threshold, (omzet) di bawah Rp500 (juta) tidak kena pajak, Rp500 (juta)–Rp4,8 (miliar) bisa memanfaatkan pajak final,” ujarnya.
Ia juga menyoroti prinsip daya pukul, misalnya bahan pokok yang tidak dikenai PPN karena termasuk kebutuhan dasar. Sementara untuk PBB-P2, kewenangan kini berada di pemerintah daerah. Ia memastikan aset keagamaan dan sosial seperti sekolah, pesantren, dan rumah sakit nonkomersial mendapatkan keringanan tarif.
“Untuk fasilitas-fasilitas yang memang non profit untuk keagamaan, untuk sosial, untuk kesehatan, untuk pendidikan itu ada tarif khusus PBB. Hanya memang sudah tidak di kewenangan pemerintah pusat,” kata Bimo.
Meski menegaskan tidak ada perbedaan mendasar, DJP tetap membuka ruang komunikasi lanjutan.
“Setelah ini kami juga akan tabayun supaya menghindari polemik perbedaan yang tidak perlu,” ujarnya.











