Jakarta, CoreNews.id — Telegram menolak langkah Pemerintah Prancis untuk mendapatkan akses backdoor atau akses khusus ke sistem aplikasi tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku umum. Telegram bahkan lebih memilih keluar dari suatu negara ketimbang merusak sistem enkripsi melalui pintu belakang (backdoor) dan melanggar hak asasi manusia.
Hal ini disampaikan CEO Telegram Pavel Durov di platform X (21/4/2025). Menurut Durov, keputusan Majelis Nasional Prancis bulan lalu yang menolak rancangan undang-undang pelarangan enkripsi sebagai langkah bijak. Bila disahkan, undang-undang itu akan menjadikan Prancis negara pertama yang mencabut hak privasi digital warganya. Namun perdebatan soal enkripsi tersebut, kembali mencuat setelah Prefek Kepolisian Paris tetap meminta bisa mengakses pintu belakang.
Menurut Durov kembali, begitu celah itu dibuka, pihak lain mulai dari agen asing hingga peretas juga akan bisa memanfaatkannya. Akibatnya, pesan pribadi warga yang taat hukum pun bisa menjadi terekspos. Karena itu ia menilai pemberlakuan kebijakan itu tidak akan efektif dalam memberantas perdagangan narkoba karena pelaku kejahatan bisa tetap menggunakan aplikasi lain yang lebih kecil dan tidak terpantau. Sesuai dengan EU Digital Service Act, Telegram hanya akan menyerahkan alamat IP dan nomor telepon tersangka kejahatan jika ada perintah pengadilan yang sah-dan bukan isi pesan mereka.*












