Jakarta, CoreNews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyelidikan dalam kasus dugaan korupsi kuota tambahan haji. Fokus penyelidikan tidak hanya pada institusi pemerintah seperti Kementerian Agama, tetapi juga merambah ke organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, salah satunya adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, sebelumnya menegaskan bahwa penelusuran aliran dana (follow the money) dilakukan bekerjasama dengan PPATK untuk mengungkap ke mana saja uang hasil korupsi mengalir. Ia menjelaskan, pelibatan ormas dalam penyelidikan adalah wajar karena penyelenggaraan ibadah haji memang melibatkan organisasi keagamaan.
“Karena permasalahan kuota haji ini terkait dengan penyelenggaraan ibadah di salah satu agama. Ini masalah keagamaan, menyangkut umat beragama, proses peribadatan. Jadi, tentunya ini melibatkan organisasi keagamaan,” jelas Asep Guntur pekan lalu. Ia menekankan bahwa langkah ini bukan untuk mendiskreditkan ormas tersebut.
Sebagai bagian dari penyelidikan, KPK telah memeriksa salah seorang staf PBNU, Saiful Bahri. Pemberitaan ini kemudian menyeret nama besar PBNU ke dalam pusaran pemberitaan kasus korupsi kuota haji.
Tanggapan Resmi dan Klarifikasi PBNU
Merespon hal ini, PBNU secara resmi memberikan klarifikasi melalui Ketua PBNU, KH. Ahmad Fahrur Rozi atau yang akrab disapa Gus Fahrur. Dalam pernyataan tertulisnya sebagaimana dikutip dari pemberitaan sejumlah media nasional, 15/9/2025, Gus Fahrur menyoroti dampak besar dari pernyataan KPK yang belum diikuti dengan langkah hukum konkret.
Gus Fahrur menjelaskan setidaknya ada dua kerugian utama yang timbul:
- Kerugian Reputasi: Baik bagi institusi seperti Kemenag dan PBNU, maupun individu-individu yang namanya diseret. Reputasi yang telah dibangun lama bisa ternoda oleh pemberitaan yang belum tentu memiliki kekuatan hukum tetap.
- Kerugian bagi Masyarakat: Masyarakat luas dirugikan karena tidak mendapatkan kepastian hukum. “Publik berhak mendapatkan informasi yang jelas, apakah benar ada tindak pidana korupsi, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana proses hukumnya berjalan,” tegas Gus Fahrur.
Soroti Prinsip Due Process of Law
Gus Fahrur lebih lanjut menekankan pentingnya prinsip due process of law (proses peradilan yang semestinya) dalam penegakan hukum. Ia mengingatkan bahwa Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas kepastian hukum yang adil.
“Jika seseorang atau institusi sudah diseret ke ruang publik, tetapi tidak segera dibawa ke pengadilan, maka hak atas kepastian hukum itu dilanggar,” ujarnya.
Ia juga mengkritik lamanya proses penyidikan yang justru bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Lamanya KPK mengambil keputusan hukum menimbulkan pertanyaan serius: apakah terdapat keraguan terhadap alat bukti atau karena faktor lainnya.
“Jika bukti belum cukup, maka seharusnya tidak ada pernyataan publik yang mengaitkan pihak tertentu dengan dugaan korupsi,” tandas Gus Fahrur.
Gus Fahrur menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa dalam penegakan hukum korupsi, keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga menjamin hak-hak pihak yang dituduh untuk segera diadili dan membela diri di hadapan hakim yang independen.