Jakarta, CoreNews.id – Gelombang bencana hidrometeorologi datang tanpa henti sepanjang tahun 2025, menorehkan catatan kelam bagi Indonesia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga akhir Desember 2025 menunjukkan lebih dari 3.000 kejadian bencana alam telah terjadi. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata bahwa perubahan iklim telah mengubah bencana menjadi lebih intensif dan memiliki daya rusak yang luar biasa.
Januari Kelam: Longsor Mematikan dan Pergeseran Pola Musim
Tahun 2025 dibuka dengan situasi mencemaskan. Pada bulan pertama saja, tercatat 302 kejadian bencana, dengan 99,67%-nya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Tragedi memilukan terjadi di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Hujan ekstrem memicu tanah longsor yang merenggut 26 nyawa. Kondisi tanah yang labil di hulu bertemu dengan curah hujan di luar batas normal, menciptakan kombinasi maut. Di saat bersamaan, Mamuju, Sulawesi Barat, juga berduka dengan 6 korban jiwa akibat pergerakan tanah, membuktikan ancaman ini merata dari barat hingga timur Indonesia.
Kuartal Kedua: Banjir Dominan di Musim yang “Salah”
Memasuki kuartal kedua, anomali kian nyata. Meski seharusnya memasuki transisi kemarau, banjir justru menjadi ancaman dominan. Pada Maret 2025 saja, 72,41% dari 261 bencana adalah banjir.
BMKG menjelaskan, pemanasan global telah mengganggu sirkulasi monsun, membuat distribusi hujan sangat tidak merata. Dampak terparah terlihat di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, di mana banjir bandang menewaskan 16 orang dan 4 lainnya hilang. Peristiwa ini membuka mata bahwa wilayah timur dengan topografi curam kini semakin rentan.
Paruh Kedua 2025: Siklon, Kemarau yang Mundur, dan Krisis Perkotaan
BMKG mencatat fenomena “kemarau yang mundur“, di mana hingga Juni hanya 19% wilayah masuk musim kering. Keterlambatan ini justru menyimpan energi panas yang memicu cuaca ekstrem lebih destruktif.
Kekhawatiran kian menjadi dengan terbentuknya Siklon Tropis Grant di perairan selatan Indonesia, yang memicu gelombang tinggi dan hujan lebat. Dampaknya dirasakan di perkotaan seperti Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan, di mana ratusan rumah terendam karena drainase kota tak lagi mampu menampung volume air. Ini menjadi alarm keras bagi perlunya tata kelola lingkungan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).
Puncak Krisis: November-Desember yang Mengharu Biru
Menjelang akhir tahun, bencana mencapai puncaknya. Hingga November, kejadian bencana nasional mencapai 2.942 kejadian, dengan >70% adalah banjir dan cuaca ekstrem. Banjir besar melanda Serdang Bedagai (Sumut) dan Jombang (Jatim), menguji kapasitas pemulihan daerah.
Yang paling memilukan, krisis hidrometeorologi memuncak di Sumatra pada akhir November hingga awal Desember. Hujan ekstrem dengan rekor 411 mm/hari di Aceh (tertinggi dalam 6 tahun) memicu banjir dan longsor hebat. Laporan menyebutkan lebih dari 1.000 korban tewas dan ratusan hilang pada 29 November 2025, dengan puluhan ribu rumah rusak.
BNPB mencatat, rata-rata 15-20 bencana terjadi setiap hari di Indonesia sepanjang 2025. Frekuensi ini menandakan “normal baru” akibat perubahan iklim telah benar-benar tiba.
Peringatan BMKG jelas: selama emisi gas rumah kaca tidak ditekan secara radikal, siklus hidrologi akan terus terganggu dan cuaca ekstrem akan menjadi rutinitas yang mematikan. Tahun 2025 adalah cermin masa depan yang harus dihadapi dengan kesiapsiagaan ekstra, mitigasi berbasis lingkungan, dan komitmen global untuk menyelamatkan bumi.












