Jakarta, CoreNews.id – Warga Bandung Jawa Barat dihebohkan dengan peristiwa angin puting beliung yang terjadi di Rancaekek, Rabu (21/2) kemarin pukul 15.58 WIB.
BPBD Jawa Barat mencatat 534 bangunan mengalami kerusakan akibat bencana alam tersebut. Kerusakan mulai dari ringan hingga berat.
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani mengungkapkan puting beliung merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai dan dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian. Dia mengatakan puting beliung dan tornado sama-sama berdampak kerusakan.
“Secara esensial fenomena puting beliung dan tornado memang merujuk pada fenomena alam yang memiliki beberapa kemiripan visual yaitu pusaran angin yang kuat, berbahaya dan berpotensi merusak,” ungkapnya kepada media.
Masih menurut Andri, angin puting beliung terbentuk dari sistem Awan Cumulonimbus (CB) yang memiliki karakteristik menimbulkan cuaca ekstrem.
“Kejadian angin puting beliung dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat dengan durasi kejadian umumnya kurang dari 10 menit,” terang Andri.
Berdasarkan catatan BMKG, fenomena puting beliung telah terjadi beberapa kali di wilayah Bandung. Pada tanggal 5 Juni 2023 terjadi di Desa Bojongmalaka, Desa Rancamanyar, dan Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah-Bandung.
Fenomena tersebut juga menyebabkan 110 rumah rusak di Bojongmalaka, 20 rumah rusak di Kelurahan Andir, dan 11 rumah rusak di Rancamayar. Kemudian Pada tahun 2023 juga terjadi puting beliung di Bandung pada bulan Oktober di Banjaran dan bulan Desember di Ciparay. Lalu 18 Februari 2024, puting beliung terjadi juga di Parongpong Bandung Barat.
Sementara itu, Andri menjelaskan soal angin tornado yang biasa melanda wilayah Amerika Serikat. Dia menuturkan jika intensitasnya meningkat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam maka akan menimbulkan kerusakan luar biasa.
“Istilah Tornado itu biasa dipakai di wilayah Amerika,” tutur Andri.
Di Indonesia, kata Andri, fenomena yang mirip tersebut diberikan istilah puting beliung. Hal itu karena karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado besar.
“Sehingga kami mengimbau bagi siapapun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat, cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” jelasnya.