Pengantar
Hingga saat ini, para ahli arkeologi belum dapat mengidentifikasi rumah era Majapahit. Padahal dalam banyak teks era Majapahit, dicatat adanya rumah yang menggunakan sphaṭika dan kanaka. Misalnya saja, kakawin Arjunawijaya dan Sutasoma. Realitas ini membuat rumah era Majapahit hanya menjadi rumah dalam ranah filologis yang maya dan tidak berbasis kenyataan. Semua ini menurut arkeolog Prof. Dr. Mundardjito, karena adanya permasalahan ilmiah utama dalam khasanah penelitian Majapahit, yaitu adanya kesenjangan antara data tertulis dan artefactual. 1)
Irawan Djoko Nugroho, pernah mencoba menjembatani hal tersebut dengan kajiannya tentang Omahipun Simbah yang didasarkan pada perbandingan informasi dengan Sejarah Dinasti Song dan Yingya Shenglan (1416). 2) Sayangnya pada kajian tersebut, belum mampu menjawab permasalahan yang disampaikan Mundardjito secara sempurna. Hal ini karena antara data tertulis dan artefactual yang disajikan masih terdapat kesenjangan, di mana teks yang mendukung sumber artefactual terkait Borobudur tidak dihadirkan karena memang hingga saat ini belum ditemukan.
Mengingat banyaknya rumah yang menggunakan sphaṭika dan kanaka ditulis para kawi dalam berbagai generasi sebelum hingga era Majapahit, yang menunjukkan bukti bahwa secara filologis mereka sesungguhnya nyata, maka penelitian ini akan ditujukan untuk menelusuri visualisasinya. Visualisasi ini dilakukan dengan membandingkan teks Majapahit dengan teks pra Majapahit yang membahas hal yang sama, guna melihat visualisasi yang dilakukan sebelumnya. Pendekatan ini dihadirkann karena visualisasi di era Majapahit dapat dikatakan telah tidak ada.
Secara umum bangunan yang didirikan pada era Majapahit tidak hanya berbahan batu bata, batu kali, dan kayu semata. Namun terdapat juga bangunan dari bahan lain, seperti sphaṭika dan kanaka. Sphaṭika merupakan bahasa Sansekerta yang berarti: kristal, batu baiduri. Dalam bahasa Bahasa Jawa Kuna berarti kwarsa, kristal, juga permata, (Zoetmulder, 1995: 1118).
Menurut KBBI, kristal berarti hablur atau geo unsur pembentukan batuan yang atomnya tersusun dan terikat oleh kekuatan intermolekuler sehingga menjadi padat. Hablur adalah benda keras yang bening seperti kaca. Adapun baiduri adalah batu permata yang berwarna dan banyak macamnya seperti misalnya: baiduri bulan, baiduri pandan, dan baiduri sepah. Sementara itu kuarsa adalah penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultra-ungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik. Kuarsa juga berarti silika yaitu bagian terbesar dari pasir dan batu pasir (SiO2). Menurut KBBI pula, permata adalah batu berharga yang berwarna indah (seperti intan, berlian, dan nilam).
Pengertian intan adalah batu permata yang berkilauan berasal dari karbon murni dalam bentuk kristal (zat yang terkenal paling keras, dipakai untuk permata cincin, gelang, kalung, giwang, bros, dan sebagainya). Berlian adalah intan yang diasah baik-baik hingga indah kemilau cahayanya. Dan nilam adalah batu permata transparan yang berwarna biru atau safir yaitu batu permata berwarna biru tembus pandang.
Kata kristal berasal dari bahasa Yunani yaitu “krustallos”, terdiri atas “kruos” yang artinya beku dan “stellein” yang artinya dingin. Jadi kristal mengacu pada kedua kata tersebut berarti membeku karena proses pendinginan. Kristal juga sering disebut sebagai hablur / balur, mengacu pada sifat fisik yang menandainya, karena kristal bersifat hablur, (Sri Mulyaningsih, 2018:29).
Dalam The Dictionarry of Geology (Berry, 1983), kristal adalah bahan padat yang secara kimia homogen dengan bentuk geometri tetap, sebagai gambaran dari susunan atom yang teratur, dibatasi oleh bidang banyak (polyhedron), dengan jumlah dan kedudukan bidang-bidang kristalnya tertentu dan teratur, (Sri Mulyaningsih, 2018:29).
Sementara itu kanaka merupakan bahasa Sansekerta yang berarti: emas; berbagai tumbuh-tumbuhan (sejenis bdellium; sejenis pohon cendana), (Zoetmulder, 1995: 452). Dalam beberapa teks, sering digunakan padanan katanya, yaitu mās. Mās, mas, ĕmas, hĕmas adalah bahasa Jawa Kuna yang berarti emas, dari emas, kekayaan, ukuran emas, (Zoetmulder, 1995: 657).
1. Catatan Bangunan Dari Kristal Di Majapahit
Di Majapahit, bangunan yang terbuat dari bahan kristal dicatat lebih banyak dari bangunan yang terbuat dari emas. Karena itu penekanan bangunan yang terbuat dari bahan kristal mendapat ruang yang lebih utama. Bangunan yang terbuat dari bahan kristal, diantaranya dicatat dalam Nāgarakṛtāgama 76. 2.
tan karyya sphaṭīkeyang i jaya manalwi haribhawana caṇḍi wungkal i pigit,
nyū dante katude srangan / kapuyuran jayamuka kulanandane kanigara,
ṛmbut lan wuluhěn muwah ri khinawöng mwang i sukhawijayāthawā ri kajaha,
campěn / mwang ratimānmathāçrama kula kaling i batu putih tekha paměwěh. 3)
Terjemahan:
‘Tidak harus tinggal di belakang sphaṭikeyang: Jaya Manalu, Haribhawana, Candi Wungkal, Pigit; Nyu Denta, Katuda, Srangan, Kapuyuran, Jaya Muka, Kulanandana, Kanigara; Rěmbut dan Wuluhen, juga Kinawong dan Sukawijaya dan Kajaha juga, Campen dan Rati-Manmathāshrama, Kulang-Kaling, Batu Putih, yang kini menjadi tambahan’. 4)
Sphaṭikeyang (sphaṭika i hyang), di dalam Nāgarakṛtāgama termasuk 1 dari 4 kelompok dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa. Dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa terdiri dari: kuti balay, parhyangan, prasada haji, dan sphaṭikeyang. 5) Dari keempat kelompok tersebut, sphaṭikeyang dicatat paling banyak.
Terkait Sphaṭikeyang, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai deskripsi mengenainya. Dalam artian mengenai seperti apa penggunaan sphaṭika dalam Sphaṭikeyang. Pigeaud mencoba memberi ulasan mengenai sphaṭikeyang, yaitu sebagai berikut. The fourth group, the Shiwaitic sphatikeyangs, seems to comprise a kind of domains with sanctuaries which in the Majapahit age was considered as ordinary, not archaic or belonging to people who were in any respect outside the pale of common 14th century East Javanese Shiwaism. Besides the connection of the word sphaṭika with Shiwaitic ithyphallic conceptions the name bale spaṭika for the most important part (the place of the mortal remains) in the Balinese bade (the towerlike conveyance of the dead from their temporary earthly grave to the cremation place) is to be mentioned (see i.a. Wirz, Totenkult auf Bali, 1928, p. 40). 6)
Namun demikian ia juga memberi catatan lain mengenai sphaṭikeyang. Sphaṭika, crystal, in Old Javanese Paṣṭika, muṣṭika, is connected with Parameshwara-Shiwa in the Korawāshrama tale (edition Swellengrebel, p. 44) about Wishnu and Brahma’s quest for the foot and the head of the crystal pillar, the spike of Java (pakuning Yawadwīpa). 7) Catatan ini menunjukkan jika sphaṭika digunakan pada bangunan masa lalu, seperti pada kaki dan kepala tiang.
Informasi digunakannya sphaṭika sebagai kaki dan kepala tiang, tentu sangat menarik. Pertama, karena menunjukkan jika ia tidak digunakan sebagai bahan candi secara umum, namun lebih merujuk pada bagian tertentu. Hal ini karena beberapa candi dibangun seperti kerucut di mana ia disusun dari batu atau batu bata yang saling terkait. Candi Gangsir misalnya, ruangan di dalam candi ini terlihat tanpa menggunakan tiang.
Gambar 1.
Gambar Candi Gunung Gangsir.

.
Sumber:
035-Main-Entrance-Gunung-Gangsir-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/34-Pasuruan/34-Pasuruan.htm.
Gambar 2.
Gambar Ruang Dalam Candi Gunung Gangsi

Sumber:
040-Inside-the-Turret-Gunung-Gangsir-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/34-Pasuruan/34-Pasuruan.htm
Kedua. Karena digunakan untuk kaki dan kepala tiang, mungkinkah ia dimungkinkan juga digunakan pada bagian lain seperti tiangnya sendiri atau pun lainnya?
Lepas dari hal tersebut, karena Caṇḍi Wungkal dalam Nāgarakṛtāgama dicatat sebagai Sphaṭikeyang, maka dimungkinkan sphaṭika digunakan sebagai bahan bangunan atau minimal sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam aktivitas candi. Dalam temuan terbaru dari Candi Sukuh, dicatat ditemukan adanya lingga dari kristal. Uniknya Candi Sukuh tidak termasuk Sphaṭikeyang menurut Nāgarakṛtāgama. Akan tetapi dengan adanya temuan penggunaan kristal sebagai lingga tersebut, menunjukkan jika pada masa lalu kristal digunakan sarana upacara dalam sebuah peribadatan di candi. Sekalipun kristal itu ditemukan di luar bangunan candi, namun penemuan kristal tersebut menunjukkan bila kristal memang digunakan pada era Majapahit.
Gambar 3.
Lingga dari kristal yang ditemukan di Candi Sukuh

.
Sumber:
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/05/14/crystal-shiva-linga-found-among-artifacts-at-candi-sukuh-central-java/
Pada saat ini, dari seluruh wilayah yang disebut sebagai bagian dari kelompok Sphaṭikeyang, dapat dikatakan tidak lagi teridentifikasi dan statusnya tidak diketahui. Berikut wilayah-wilayah yang termasuk kelompok Sphaṭikeyang beserta catatan identifikasi yang diberikan oleh Pigeaud.
No | Sphaṭikeyang | Kondisi | Keterangan |
1 | Jaya Manalu | Tidak diketahui | Poerbatjaraka mengatakan bahwa di masa lalu seorang Raja Bali memiliki nama ini, Pigeaud IV:230 |
2 | Haribhawana | Tidak diketahui | |
3 | Caṇḍi Wungkal | Tidak diketahui | Dalam piagam tahun 1216 Shāka, tahun 1294 M. Jasun Wungkal disebutkan. Mungkin terletak di barat laut Kěḍung Pěluk, disebutkan dalam pupuh 35-1-3, Pigeaud IV:230. |
4 | Pigit | Tidak diketahui | |
5 | Nyū Děnta | Tidak diketahui | |
6 | Katuda | Tidak diketahui | |
7 | Srangan | Tidak diketahui | Merujuk pupuh 76-3-3 dan 78-4-1 (Sarangan disebutkan dalam O.J.O. no 37, piagam 851 Shāka, 929 M dari distrik Majakěrta. Menurut beberapa piagam lain, O.J.O. no 94 sq. terletak tidak jauh dari Jiyu, Pigeaud IV:230-231) |
8 | Kapuyuran | Tidak diketahui | |
9 | Jaya Muka | Tidak diketahui | |
10 | Kulanandana | Tidak diketahui | |
11 | Kanigara | Tidak diketahui | Merujuk Knebel, Rapp. Oudh. Kom. 1908, hal. 70: sebuah desa di kabupaten Blitar tempat ditemukannya arca Shiwa. Dalam puisi ensiklopedis abad ke-19 Cěṇṭini menyebutkan tempat Kanigara di Kecamatan Giring sebelah selatan Mataram, Pigeaud IV:231 |
12 | Rěmbut | Tidak diketahui | |
13 | Wuluhěn | Tidak diketahui | |
14 | Kinawöng | Tidak diketahui | Diidentifikasikan dengan Kinawe, disebutkan dalam O.J.O. no 32, piagam 849 Shāka, 927 M dari Tañjung Kalang di daerah Běrběk, Pigeaud IV:231 |
15 | Sukawijaya | Tidak diketahui | |
16 | Kajaha | Tidak diketahui | |
17 | Campěn | Tidak diketahui | |
18 | Rati-Manmathāshrama | Tidak diketahui | Identifikasi Poerbatjaraka dengan Lingga Marabangun, pupuh 17-5, diragukan, Pigeaud IV:231. |
19 | Kulang-Kaling | Tidak diketahui | Merujuk Notes, vol. II. |
20 | Batu Putih | Tidak diketahui | “Batu Putih”, diidentifikasi oleh Poerbatjaraka dengan Shilā Pěṭak (arti yang sama), wilayah Wishnuitic Raja Jayanagara, dan dengan pemakaman tua keluarga Bupati Muslim Surabaya, keturunan Anggawangsa (abad ke-16), terletak di tepi sungai Sungai Pagirian, cabang dari sungai besar Brantas, di bagian kota tua. Urutan denominasi: Shiwaitic, Wishnuitic, Muslim, akan luar biasa tetapi bukan tidak mungkin sama sekali, Pigeaud IV:231 |
2. Bangunan Sphaṭika Selain Sphaṭikeyang
Selain digunakan sebagai bahan bangunan dari salah satu kelompok dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa, kristal juga disebut digunakan sebagai bahan bangunan lain. Hanya saja hal tersebut dicatat dalam karya sastra kakawin. Misalnya saja adalah Sutasoma dan Arjunawiwāha. Kedua karya tersebut memuat informasi bangunan dari kristal dengan informasi yang cukup melimpah.
Zoetmulder dalam kajian ‘Alam Yang Terpantul Dalam Sastra Kakawin’ mencatat sebagai berikut. Sekalipun demikian, tak seorang pun membaca sastra kakawin dapat menghindari kesan, bahwa “setting” cerita-cerita itu jelas merupakan “setting” Jawa. Dengan menyamarkan tokoh-tokoh dan nama-nama tempat, penyair menyajikan sebuah gambar mengenai tanah air serta masyarakatnya sendiri. Laki-laki dan perempuan-perempuan yang memakai nama-nama India pada pokoknya merupakan orang-orang Jawa yang berpikir seperti orang Jawa dan yang hidup dalam suatu lingkungan Jawa, (Zoetmulder, 1983:239). Namun demikian, tidak berarti segala sesuatu di dalam setiap kakawin begitu saja harus dipandang sebagai pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa. Janganlah kita lupa, bahwa menulis fiksi, dapat mengambil kebebasannya sendiri dan tidak merasa terikat oleh kenyataan lingkungan Jawa pada jamannya, karena ia tidak berjanji untuk melukiskan keadaan itu, (Zoetmulder, 1983:239).
Karena itu Zoetmulder kemudian menilai bila setiap usaha untuk merekontruksi kembali keadaan masyarakat Jawa Kuna berdasarkan hasil sastra jaman itu, hendaklah dilakukan sambil menilai dengan hati-hati dan kritis berbagai unsur dalam cerita-cerita itu. Penilaian harus memperhatikan asal-usul cerita serta persoalan, apakah pengarang bermaksud mengikuti contohnya dari India setepat mungkin atau tidak, (Zoetmulder, 1983:240).
Jika melihat kembali Sutasoma, kakawin ini merupakan kakawin yang dapat dikatakan genuine Jawa Kuna. Sekalipun dijumpai di dalamnya terdapat kisah jātaka sebagaimana yang ditemukan dalam sastra Buddhis (Zoetmulder, 1983:434), namun secara umum kakawin Sutasoma dapat dikatakan tidak setepat mungkin mengikuti contoh India. Hal ini karena syair ini memiliki kebaruan dari sastra India dalam hal masuknya ide-ide religius mengenai bentuk Buddhisme Mahayana seperti berlaku di keraton Majapahit beserta hubungannya dengan Siwaisme (Zoetmulder, 1983:435).
Dengan pengarang Sutasoma tidak bermaksud mengikuti contohnya dari India setepat mungkin, maka dapat dikatakan kemungkinan adanya unsur-unsur pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa dalam latar yang dikisahkan, menjadi sangat besar. Termasuk diantaranya adalah bangunan kristal sebagaimana yang dikisahkan dalam Sutasoma.
Demikian pula Arjunawiwāha. Zoetmulder juga menilai bila dua pertiga dari seluruh syair ini, praktis merupakan suatu ciptaan baru, (Zoetmulder, 1983:308). Keterangan ini menunjukkan sangat dimungkinkan adanya unsur-unsur pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa dalam latar yang dikisahkannya.
Namun demikian ada catatan menarik terkait realitas dan fiksi. Antara informasi Nāgarakṛtāgama dengan Arjunawijaya. Antara dua karya penulis yang hidup sejaman, sebab keduanya sama-sama ditulis pada era era Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Supomo mencatat jika Nāgarakṛtāgama dan Arjunawijaya ditulis hampir sepuluh tahun terpisah dan, kemungkinan besar, di satu dan tempat yang sama, tidak mengherankan bahwa gambar-gambar kehidupan kontemporer yang muncul dari kedua karya tersebut sangat mirip, dan dalam kasus di mana kami menemukan informasi yang berbeda dalam kedua karya ini, ini saling melengkapi daripada bertentangan, (S. Supomo, 1971:88). 8)
Sekalipun demikian, saat mengisahkan mengenai sphaṭikagṛha, Supomo memberi penjelasan berbeda. Sphaṭikagṛha dicatat dalam Arjunawijaya 3.5.1-2, dengan uraian sebagai berikut. Mangkin lěyěp anupama tingkah ing pura, lěwěs halěp ika ri dalěm, de ning sphaṭikagṛha suteja bhāswara; hana n kadi rahina sadā. ‘Yang lebih indah dan tak tertandingi adalah penataan istana; interiornya paling mengesankan, karena rumah kristal yang berkilauan; beberapa dari mereka, yang [secerah] seolah-olah terus-menerus siang hari’. 9)
Pada penjelasan selanjutnya, Supomo mencatat jika istilah rumah kristal (sphaṭikagṛha) pada pupuh 3.5.1-2 tersebut, merupakan puitis berlebihan untuk rumah-rumah indah (gṛhâdhika) dari keluarga kerajaan yang disebutkan dalam Nag.11.1-2, (S. Supomo, 1971:100). Sayangnya pendapat Supomo tersebut seperti melewatkan banyak hal. Hal ini karena Prapañca lah dalam melukiskan bangunan di dalam istana, yang menggunakan bahasa puitis bukan realis. Misalnya saja gṛhânopama (Nāg. 9.4.3). Istilah gṛhânopama merupakan ungkapan puitis dan realitasnya ternyata sesuai dengan informasi Odorico da Pordenone, yaitu bangunan dari emas dan perak. 10) Karena itu dapat dikatakan jika gṛhâdhika juga merupakan ungkapan puitis Prapañca dan realitasnya sesuai dengan informasi Arjunawijaya, yaitu bangunan dari kristal.
3. Humah Sphaṭika dan Weśma Kanaka Dalam Sutasoma
Di dalam Sutasoma, sebuah kakawin yang ditulis oleh pengarang yang sama dengan Arjunawijaya, dilukiskan adanya bangunan yang terbuat dari emas dan kristal. Bangunan ini disebut dengan weśmakanaka (Sut. 67.2.1) dan sphaṭikaweśma (Sut. 68.1.4). Untuk sphaṭikaweśma, ia juga disebut dengan humah sphaṭika (Sut. 68.4.4), sphaṭikagṛha (Sut. 72.2.1, Sut. 79.2.3, Sut. 79.6.3) dan gṛhârâtna (Sut. 80.5.2).
Informasi terakhir ini menunjukkan jika yang dimaksud sphaṭika (kristal) adalah râtna (permata), (Zoetmulder 1995:930). Menurut Sutasoma, sphaṭikaweśma dan weśmakanaka dikisahkan terletak di luar istana. Ia berada di sebuah pulau di tengah danau. Jalan menuju ke pulau tersebut berupa jembatan besi yang dihiasi permata dan emas. Sphaṭikaweśma atau gṛhârâtna merupakan tempat bulan madu Pangeran Sutasoma dengan istrinya. Di lihat dari tempatnya yang bukan di istana, sphaṭikaweśma dan weśmakanaka ini dapat dikatakan seperti sebuah pesanggrahan raja pada masa lalu.
Kata weśma dicatat merupakan bahasa Sansekerta yang berarti rumah atau kediaman, (Zoetmulder: 1995:1442). Humah atau umah merupakan bahasa Jawa Kuna yang berarti rumah atau tempat tinggal, (Zoetmulder 1995:1328). Sementara itu gṛha merupakan bahasa Sansekerta yang berarti rumah, tempat tinggal, kediaman, (Zoetmulder 1995:309). Namun baik sphaṭikagṛha maupun sphaṭikaweśma, Zoetmulder menterjemahkannya dengan pavilyun kristal, (Zoetmulder 1995:1118). Menurut KBBI, pavilyun atau ditulis dengan paviliun adalah rumah (bangunan) tambahan di samping rumah induk. Dengan pengertian KBBI tersebut, maka makna paviliun kristal menjadi kurang seperti yang seharusnya. Hal ini karena pengertian paviliun kristal seharusnya merujuk pada rumah utama. Karena itu berdasar standar KBBI, sphaṭikagṛha maupun sphaṭikaweśma kami terjemahkan dengan rumah kristal.
Dalam penerjemahan kata weśma, humah, atau gṛha dari kata sphaṭikaweśma, humah sphaṭika, dan sphaṭikagṛha, ternyata sangat variatif. Seperti misalnya sphaṭikaweśma dan sphaṭikagṛha sebagai the crystal hall, (S III, 1969:126 dan 152) dan the hall of crystal (Soewito Santoso III, 1968:153). Sementara itu Dwi Woro R. Mastuti menterjemahkan dengan balai emas(Dwi Woro R. Mastuti, dkk, 2009:221 dan 263).
Dari banyak informasi mengenai humah sphaṭika yang dicatat dalam Sutasoma 67-79, ada diskripsi-deskripsi menarik mengenai humah sphaṭika tersebut. Deskripsi tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. Humah sphaṭika merupakan bangunan termegah pada masa itu. Karena menjadi pusat dari bangunan-bangunan lain atau bangunan yang terbuat dari emas atau weśmakanaka. Misalnya saja diskripsi sebagai berikut.
Sutasoma 67.2:
Ring pȗrwwâdiwiśeṣaweśma-kanaka nya kadi wahu sake hyang Iśwara,
ngkaneng dakṣiṇa Dhâtraweśma kahiḍěp marakata dumilah nirantara,
ndan ring paścima yeka rakwa ya Mahâmarabhawana panarkka ning mulat,
n yâśeng uttara tulya weśma Madhusȗddhana pasaji nireng wanȋng raṇa. 11)
Sutasoma 67.3.1:
Ring mâdya sphaṭikendra śuddha winangun gṛha linarangan ing surâlaya,
Terjemahan Sutasoma 67.2:
Rumah emas, di sebelah timur seperti Îswara, sangat bagus sekali.
Bahwa di sebelah selatan seperti tempat tinggal Dhâtra, terus menyala dan berkilau.
Dan di sebelah barat adalah tempat tinggal Mahâmara, sehingga orang yang melihatnya akan berpikir,
dan rumah di sisi utara seperti tempat tinggal Madhusudhana, disediakan olehnya untuk para pahlawan dalam pertempuran. 12)
Sutasoma 67.3.1:
Di tengahnya terdapat sebuah rumah besar dari kristal murni yang mungkin tidak dapat ditiru bahkan di tempat tinggal para dewa. 13)
Kedua. Humah sphaṭika sangat besar.
Sutasoma 67.3.1:
Ring mâdya sphaṭikendra śuddha winangun gṛha linarangan ing surâlaya.
Terjemahan Sutasoma 67.3.1:
Di tengahnya terdapat sebuah rumah besar dari kristal murni yang mungkin tidak dapat ditiru bahkan di tempat tinggal para dewa. 14)
Ketiga. Humah sphaṭika memiliki atěp dan wuwung.
Sutasoma 67.3.3:
wwaidhȗryyâtěp anekawaṛṇna ni wuwung nya mabuka nawarâtna sangghya ta.
Terjemahan Sutasoma 67.3.3:
Atapnya terbuat dari segala jenis batu opal dan bubungan (dari atap) bertatahkan sembilan jenis permata. 15)
Keempat. Sphaṭikagṛha dipasang tirai dan diberi parfum aroma kesturi.
Sut. 79.2.3-4:
mwang tekang sphaṭika gṛhâdi kiněnan jiněm arěja sugandha kasturi minging,
muntab söng i kělab nikang palisir ârjja kumuliling awaṛṇna teja dumilah.
Terjemahan:
dan di rumah kristal dipasang kamar pengantin yang harum dengan aroma kesturi (musk). Berkilauan sinar tirai indah yang berkibar di sekitar [ruangan rumah] seperti api yang menyala-nyala. 16)
Kelima. Sphaṭikagṛha didekorasi dan dihiasi dengan segala hiasan lain.
Sut. 79.6.3:
nahan hetu nirâglis anghyasi tikang sphaṭikagṛha pinik sabhuṣaṇa halěp.
Terjemahan:
Inilah sebabnya mengapa dia memerintahkan rumah kristal untuk didekorasi sekaligus dan dihiasi dengan segala macam ornamen halus. 17)
Selain sebagai bahan humah, sphaṭika juga digunakan sebagai bahan rangkang. Misalnya adalah sebagai berikut.
Sut. 58.7.3:
ring rangkang sphaṭikârjja teki kahana rasiki sinaput ing lare hati,
Terjemahan:
Sang putri berada di rangkang kristal yang indah diliputi kesedihan dan kesusahan. 18)
4. Sphaṭikagṛha di Arjunawiwāha
Selain terdapat di era Majapahit, bangunan yang menggunakan bahan dari sphaṭika dicatat juga di era Kahuripan. Misalnya saja sebagaimana yang dicatat dalam Arjunawiwāha. Dalam Arjunawiwāha tersebut, bangunan yang menggunakan sphaṭika adalah rangkang dan gṛha.
Pertama. Rangkang.
Arjunawiwāha 17.3.1-3:
Wwantěn ramyaracana śūnya kāwakanya
(ng)kanêng kalpataru paran sang arya Pārta
ri(ng) rangka(ng) sphaṭika dulur (ni)ra-n panganti. 19)
Terjemahan:
Ada bangunan indah, sunyi, tersendiri.
Ke sana, pada pohon kalpataru, Sang Arya Parta menuju,
Di rangkang sphaṭika ‘paviliun kristal’ pendampingnya (Supraba) menanti. 20)
Kedua. Gṛha.
Arjunawiwāha 17.4.4:
abhra ta(ng) spha<ṭ>ikagṛhâsinang riněngga.
Terjemahan:
‘Cemerlanglah sphaṭikagṛha ‘rumah kristal’, bersinar-sinar, dihiasi. 21)
Arjunawiwāha 17.5.1:
endah ta(ng) sphaṭikagṛhâsalin prabhānya.
Terjemahan:
‘Menjadi sangat elok sphaṭikagṛha ‘rumah kristal’ itu, berganti cahayanya. 22)
Menurut informasi Arjunawiwāha tersebut, sebelum memasuki sphaṭikagṛha terdapat rangka(ng) sphaṭika. Sphaṭikagṛha dicatat terletak di dalam istana. Tepatnya pada tempat di mana istri-istri raja berada. Kemungkinan besar ia berada di semacam Tamansari.
Apabila informasi Arjunawiwāha tersebut kemudian diperbandingkan dengan Sutasoma, maka akan terdapat perbedaan antara keduanya. Pada Arjunawiwāha, rangkang sphaṭika merupakan bagian dari bangunan sphaṭikagṛha. Sebelum masuk sphaṭikagṛha akan melalui rangkang sphaṭika terlebih dahulu. Sementara itu pada Sutasoma rangkang tidak dikisahkan menjadi bagian dari bangunan sphaṭikagṛha. Hal ini karena rangkang terdapat di istana dan sphaṭikagṛha terdapat di luar istana tepatnya di sebuah pulau di danau yang letaknya jauh dari istana.
Dengan adanya sphaṭikagṛha baik dalam catatan Sutasoma maupun Arjunawiwāha dan juga penjelasan sebelumnya yaitu Arjunawijaya, maka sphaṭikagṛha pada masa lalu dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama. Bangunan sphaṭikagṛha pada masa lalu didirikan di lingkup istana (Arjunawiwāha di Taman Sari Raja, Arjunawijaya di perumahan keluarga kerajaan), maupun di luar istana (Sutasoma di Pesanggrahan Raja). Kedua. Para pendiri sphaṭikagṛha pada masa lalu, dilakukan oleh raja atau kerabat dekat raja.
5. Menelusuri Jejak Visualisasi Sphaṭikagṛha dan Weśmakanaka
Informasi sphaṭikagṛha dalam kakawin di atas, pada dasarnya merupakan sebuah informasi dari sisi filologis. Menjadi pertanyaan kemudian apakah ada informasi penggambaran sphaṭikagṛha dari sisi arkeologis?
Mencari informasi relief bangunan yang menggunakan bahan sphaṭika dan kanaka tentu tidak mudah. Terlebih bangunan tersebut sebagaimana yang dicatat dalam catatan Prapañca, pada saat ini dapat dikatakan telah hilang dan tidak ditemukan. Sekalipun demikian akan tetap diupayakan untuk mencari gambaran mengenai bangunan pada masa lalu, yang disebut sangat istimewa dibanding bangunan lain termasuk bangunan yang dibuat dari emas atau kanaka, khususnya pada gambar relief. Pencarian dilakukan untuk memberi gambaran seperti apa keindahan bangunan kristal tersebut.
Pencarian akan difokuskan pada informasi Prapañca, di mana pada era Majapahit bangunan dari bahan sphaṭika dicatat digunakan dalam dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa. Sehingga lebih tepatnya pada relief-relief candi-candi Shiwa. Dari banyak relief yang diteliti, ternyata terdapat penggambaran yang mendekati sebagaimana yang dimaksud. Penggambaran tersebut terdapat di relief Candi Prambanan.
Relief di Candi Prambanan yang dimaksud adalah di relief yang mengisahkan kisah Rama. Ada dua relief yang dapat diduga sebagai bangunan yang menggunakan bahan sphaṭika dan kanaka. Bangunan tersebut adalah relief dalam gambar dengan kode D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb dan D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb. 23) Gambar relief tersebut merupakan gambar relief yang mengisahkan Rama dan Sinta kembali berada di negara Ayodya selepas mengalahkan Alengka.
Gambar 4.
Gambar rumah di relief candi Prambanan.

Sumber:
D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar relief bagunan pertama:
Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Menurut KBBI rumah salah satunya berarti bangunan pada umumnya (seperti gedung). Informasi seperti gedung ini sesuai dengan gambar relief pertama, karena tampak memiliki atap dan wuwungan serta memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Kuda-kuda dan reng masih terlihat tampak sekalipun tidak sempurna. Hanya sayangnya motif genting yang ada telah rusak dan tidak dikenali lagi. Rangka bangunan tampak kokoh dan lebih menggambarkan tidak dibuat dari kayu. Rangka bangunan tampak terpahat seperti sebuah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar sebagai dinding. Terdapat pula satu panel kotak yang tersusun dari kotak-kotak kecil seperti sebuah belah ketupat. Gambar bangunan pada relief pertama ini juga seperti menunjukkan bahwa bangunan memiliki 2 lantai utuh. Hal ini ditandai dengan adanya garis tegas tebal antara bangunan bawah dan bangunan atasnya.
Adanya gambar burung dan burung merak yang masih dapat dilihat di atas genting menunjukkan bangunan tersebut seperti didukung suasana asri lingkungannya. Sekalipun tidak dilukiskan. Baik kemungkinan taman dan pohon-pohon besar asri yang melingkari bangunan.
Gambar 5.
Gambar rumah di relief candi Prambanan.

Sumber:
D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar relief bagunan kedua:
Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Hal ini karena ia terlihat memiliki atap dan wuwungan serta memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Kuda-kuda dan reng tampak jauh lebih terlihat. Motif genting juga lebih dapat dikenali. Rangka bangunan tampak kokoh dan lebih menggambarkan tidak dibuat dari kayu. Rangka bangunan sekilas rusak dan tidak tampak terpahat seperti sebuah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar sebagaimana dinding, sehingga seperti menunjukkan bangunan tidak sepenuhnya terdiri dari susunan kotak-kotak kecil.
Secara umum, bangunan tersebut terdiri dari bangunan utama dengan bangunan tambahan. Bangunan utama memiliki 2 lantai. Bangunan tambahan merupakan tambahan dari sisi bangunan utama dan hanya memiliki 1 lantai saja, sehingga langit-langit ruangan menjadi tinggi. Bangunan utama yang memiliki 2 lantai, terlihat memiliki jendela yang menjorok ke depan yang keluar dari batas dinding atau biasa disebut untuk istilah saat ini yaitu, jendela bay.
Adanya lukisan burung di atas genting dan musang (?) di bawah bangunan menunjukkan bangunan tersebut seperti didukung suasana asri lingkungannya. Sekalipun hal tersebut tidak dilukiskan secara jelas. Baik kemungkinan taman dan pohon-pohon besar asri pendukungnya.
Kedua relief tersebut, baik D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb maupun D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, yang dilukis memiliki dinding yang tersusun dari kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar, menjadi sebuah bangunan yang tidak biasa. Terlebih jika dilihat pada gambar D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, di mana tiangnya pun terlihat terdiri dari susunan kotak-kotak kecil. Hal ini karena terdapat bangunan lain, yang dilukiskan tanpa terlihat seperti susunan tersebut. Misalnya saja gambar sebagai berikut.
Gambar 6.
Gambar rumah di relief candi Prambanan

.
Sumber:
B-18c-Sugriva-regains-his-Kingdom-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar relief bagunan ketiga:
Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Hal ini karena ia terlihat memiliki atap dan wuwungan serta memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Melihat dari tiang yang terlihat sangat panjang yang tampak tidak terlihat sebagai umpak (alas tiang) di bawah bangunan yang ada, besar kemungkinannya bangunan rumah itu bertingkat. Lantai 1 yang hanya terlihat salah satu tiang panjangnya, dan lantai 2 yang terlihat lebih utuh.
Tidak ada gambar terkait dinding rumah tersebut selain garis bingkai di lantai 2 yang mengelilingi pinggir dinding. Garis bingkai tersebut seperti hendak menunjukkan bahwa dinding bangunan tertutup. Tampak adanya jendela yang menjorok ke depan yang keluar dari batas dinding atau jendela bay. Gambar 6 ini, secara umum mengisahkan bangunan di kerajaan Raja Sugriwa.
Melihat ketiga gambar relief tersebut, mungkinkah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar yang terlihat pada gambar 1 dan 2 menjadi pertanda sebagai sphaṭikagṛha atau weśmakanaka sementara gambar ketiga yang cenderung polos sebagai pertanda gṛha biasa?
6. Membandingkan Sisi Arkeologis dengan Filologis Relief Prambanan
Dua gambar bangunan yang dimungkinkan sebuah rumah dalam relief Prambanan yang berisi kisah Rama selepas kembali ke Ayodya ternyata mengingatkan akan kisah Rama dalam kakawin Rāmāyana. Dalam kakawin Rāmāyana, dicatat informasi rumah dalam aktivitas Rama selama di Ayodya. Rumah untuk para tamu selama tinggal di Ayodya (Pupuh XXVI bait 28), dan rumah untuk Rama dan Sita kala tinggal di Ayodya (Pupuh XXVI bait 29).
Kala dirujukkan kembali kepada kakawin Rāmāyana sebagai sebuah kakawin era Jawa Kuna, ternyata terlihat perelief candi Prambanan mengikuti gambaran dari kakawin Ramayana dari dekat. Dalam kakawin Rāmāyana dicatat sebagai berikut.
Pupuh XXVI bait 28 (hal: 721)
Mangka naréndra tumamā ri dalěm kaḍatwan,
mwang sang tamuy prabhu Wibhīṣaṇa wānaréndra,
ring ratnamaṇḍapa palangka malit tilām nya,
ngkā r-unggu sang tamuy aturwa kinon wisāta.
Terjemahan:
Kemudian raja mengundurkan diri ke ruang dalam, diikuti oleh para tamu, Wibhīṣaṇa dan raja kera. Para tamu diminta untuk tinggal dan tidur di maṇḍapa permata dengan tempat tidur yang luar biasa. 24)
Informasi ratnamaṇḍapa sebagai tempat tinggal dan tidur untuk para tamu merupakan informasi menarik. Terlebih setelah itu dilanjutkan informasi Rama memasuki umah mās di bait selanjutnya yaitu bait 29.
Pupuh XXVI bait 29 (hal: 721):
Sang Rāma rāmya madulur tumamèng umah mās,
sampat samodaya lawan dayitè su-Sītā,
r-unggah ta ring grěha tilām umaḍang sugandha,
pañjut ḍuḍuk jamaṇikojwala biddhanāga.
Terjemahan:
Kemudian dengan penuh kegembiraan Rama memasuki rumah emas. Semuanya sudah siap dan sempurna, belum lagi sang ratu, Sita yang cantik. Mereka pergi ke kamar tidur dengan tempat tidur yang telah disiapkan dan diberi wewangian, lampu berdiri, gorden, dan pengait berhias permata. 25)
Informasi ratnamaṇḍapa dan umah mās dalam kakawin Rāmāyana ini ternyata menjadi dasar perelief menggambarkan aktivitas utama Rama dan Sita saat kembali ke Ayodya. Aktivitas menerima tamu dan mempersilahkan para tamu tinggal di ratnamaṇḍapa serta aktivitas menikmati kemenangan di mana Rama dan Sita masuk ke umah mās. Karena itu dapat dikatakan bila informasi gambar bangunan dalam relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb tidak lain merupakan penggambaran dari ratnamaṇḍapa ‘maņḑapa permata’ atau ‘maņḑapa kristal’.
Gambar 7.
Gambar utuh relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb candi Prambanan, yang penggambaran bangunannya ternyata sesuai dengan deskripsi bangunan pada kisah kakawin Ramayana Pupuh XXVI bait 28.

Sumber:
D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Sementara itu informasi gambar bangunan dalam relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, ternyata juga merujuk pada umah mās ‘rumah emas’ yang disebut dalam kakawin Rāmāyana.
Gambar 8.
Gambar utuh relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb candi Prambanan, yang penggambaran bangunannya ternyata sesuai dengan deskripsi bangunan pada kisah kakawin Rāmāyana Pupuh XXVI bait 29.

Sumber:
D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm.
Dari hal tersebut, maka sedikit banyak dapat dipastikan jika makna penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan dalam gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb, adalah bentuk penggambaran bahan bangunan yang berbahan kristal. Dan makna penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan dalam gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, adalah bentuk penggambaran bahan bangunan yang berbahan emas.
Kedua relief tersebut ternyata juga memberi informasi menarik mengenai seni bangunan pada masa lalu, yaitu: bentuk bangunan yang disebut maṇḍapa dan bentuk bangunan yang disebut dengan umah. Keduanya ternyata memiliki desain yang berbeda. Kalau dalam Sutasoma, Arjunawiwāha, dan Arjunawijaya disebut dengan gṛha atau humah maka desain rumah yang dimaksud adalah mengacu pada gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb. Dan bila kemudian disebut dengan istilah sphaṭikagṛha, maka bentuk tersebut strukturnya menggunakan bahan sphaṭika atau ratna dengan desain bangunan seperti gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb.
7. Penggambaran Maṇḍapa dan Umah Sebagai Bangunan Asli Jawa Kuna
Uniknya informasi ratnamaṇḍapa ataupun umah mās, saat di cek di Rāmāyana India tidak ditemukan. Baik Rāmāyana Edisi Terjemahan P.Lal dan Baṭṭi-Kāvyam. Dalam Rāmāyana Edisi P. Lal, Sugriwa dan Wibhisana dicatat hadir saat penobatan Rama. Tidak dicatat sambutan Rama kepada tamunya saat di berada di Ayodya.
P. Lalhanya menggambarkan sebagai berikut: Satrugna membawa payung kerajaan. Sugriwa membawa kipas dari ekor yak. Wibisana membawa pengebut satu lagi, bersinar bagai rembulan, P. Lal, 2008: 352.
Sementara itu pada Baṭṭi-Kāvyam kedatangan para kera di kota Rāma hanya dalam bentuk pemaparan kedatangan mereka semata.
Thereafter, pervading the whole world with the loud blare of the trumpet, causing the earth to quake on all sides by the strides of the monkeys, (by Rāma) was reached Bharata along with the mothers accompanied by the ladies of the harem, with the subjects and in the company of Maruti, ‒ Bharata whose eyes bore tears of joy and who was amply bowed down (in salutation), Dr. Maheshwar Anant Karandikar, 1982:325.
Terjemahan:
‘Setelah itu, dengan suara terompet yang nyaring, meliputi seluruh dunia, menyebabkan bumi berguncang di semua sisi karena langkah monyet, (oleh Rāma) dicapai Bharata bersama dengan para ibu yang ditemani oleh para wanita harem, bersama dengan subyek dan ditemani Maruti, ‒ Bharata yang matanya berkaca-kaca kebahagiaan dan banyak membungkuk (sebagai salam)’. 26)
Sementara itu pada Rāmāyana Walmiki Chapter LXXXVI, Ram’s Coronation, disebutkan tentang adanya tempat safir Rama (rumah permata). Namun tidak disebut adanya rumah mās.
Then, Ram gently said to Bharat, “Take Sugriva and other friends to the palace to greet mothers Kausalya, Sumitra and Kaikai, and assign my sapphire place to Sugriva’ for this stay”.
Terjemahan:
Kemudian, Ram dengan lembut berkata kepada Bharat, “Bawa Sugriva dan teman-teman lainnya ke istana untuk menyambut ibu Kausalya, Sumitra, dan Kaikai, dan berikan tempat safirku kepada Sugriva’ untuk kunjungan ini.”
Dalam Valmiki Rāmāyana 6-128-45, dikisahkan bukan tempat safir Rama, tapi istana Rama yang megah yang terdiri dari mutiara dan permata mata kucing. 27)
तच्च मद्भवनन् श्रेष्ठं साशोकवनिकं महत् || ६-१२८-४५
मुक्तावैदूर्यसङ्कीर्णन् सुग्रीवस्य निवेदय |
tacca madbhavanan śreṣṭhaṃ sāśokavanikaṃ mahat || 6-128-45
muktāvaidūryasaṅkīrṇan sugrīvasya nivedaya |
- nivedaya = give; tat = that; mahat = great; madbhavanam = palace of mine; shreShTham = which is excellent; saashokavanikam = with Ashoka garden; muktaavaiduurya samkiirNam = and consisting of pearls and cat’s eye gems; sugriivaaya = to Sugreeva (for his stay).
“Give this great palace of mine which looks excellent with Ashoka garden and consisting of pearls and cat’s eye-gems to Sugreeva for his stay.”
“Berikan istanaku yang luar biasa ini yang terlihat sangat bagus dengan taman Ashoka dan terdiri dari mutiara dan permata mata kucing kepada Sugreeva untuk masa tinggalnya“.
Informasi Valmiki Rāmāyana a yang dalam bahasa Sansekerta yaitu: madbhavanam = palace of mine dan muktaavaiduurya samkiirNam = and consisting of pearls and cat’s eye gems, kemungkinan besar yang diterjemahkan pujangga kakawin dengan maṇḍapa dan ratna, atau ratnamaṇḍapa. Di sini kata ratnamaṇḍapa tampak memang dihadirkan untuk merujuk pada informasi khas bangunan Jawa Kuna.
Dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia karya PJ. Zoetmulder, Zoetmulder memasukkan kata maṇḍapa sebagai kata yang berasal dari Sansekerta, (PJ. Zoetmulder, 1995: 642). Namun demikian dalam Sanskrit – English Dictionary (Sir Monier Monier-Williams, M.A., K.C.I.E, Sanskrit – English Dictionary. Etymologically and Philologically Arranged with Special Reference to Cognate Indo-European Languages, Delhi: Motilal Banarsidass, 1986 di mana terbitan pertama tahun 1899), kata maṇḍapa tidak ditemukan.
Menjadi pertanyaan, mungkinkah kata maṇḍapa sesungguhnya asli Jawa Kuna dan dihadirkan untuk merujuk pada informasi bangunan khas Jawa Kuna saat menterjemahkan madbhavanam dari versi Valmiki Rāmāyana? Kemungkinan besar demikian. Sebab dalam kisah Valmiki Rāmāyana, dicatat Rama meminta Barata untuk menyediakan my sapphire place to Sugriva’ for this stay. Dan tampaknya ratnamaṇḍapa pada kakawin Rāmāyana menjadi istilah yang dipilih sebagai perwujudan kata my sapphire place pada Valmiki Rāmāyana.
Sekalipun demikian, ada banyak catatan menarik terkait hal ini. Pertama, kakawin Rāmāyana ternyata mengikuti Valmiki Rāmāyana dan bukan Baṭṭi-Kāvyam. Kedua. Adanya informasi penggambaran humah mās yang tidak ada dalam Rāmāyana India dan ratnamaṇḍapa, menjadikan pembuatan relief Rāmāyana di Candi Prambanan tampak dibuat mengikuti kisah Rama sesuai kakawin Rāmāyana, dan bukan menurut Rāmāyana India.
Kala kembali membandingkan informasi kakawin Rāmāyana tentang kisah Rama saat di Ayodya dengan relief Rama di Prambanan, ternyata tampak perelief menggunakan sumber kakawin Rāmāyana dari dekat. Informasi ratnamaṇḍapa dan umah mās dalam kakawin Rāmāyana ini seperti menjadi dasar perelief menggambarkan aktivitas utama Rama dan Sita saat kembali ke Ayodya. Aktivitas menerima tamu dan mempersilahkan para tamu tinggal di ratnamaṇḍapa serta aktivitas menikmati kemenangan di mana Rama dan Sita masuk ke umah mās.
Karena itu dapat dikatakan bila informasi gambar bangunan dalam relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb tidak lain merupakan penggambaran dari ratnamaṇḍapa ‘maṇḍapa permata’ atau ‘maṇḍapa kristal’ dari kakawin Rāmāyana. Sementara itu informasi gambar bangunan dalam relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, tidak lain merujuk pada penggambaran umah mās ‘rumah emas’ yang disebut dalam kakawin Rāmāyana. Adanya kesamaan antara relief Prambanan dan kakawin Rāmāyana, membuat ratnamaṇḍapa dengan umah mās di Candi Prambanan pada saat ini, menjadinya satu-satunya visualisasi bangunan yang memiliki kesamaan antara data tertulis dan artefactualnya yang pernah ditemukan.
Bila lebih dicermati, penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan yang dapat disebut berbahan kristal, dan penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan yang dapat disebut berbahan emas, terdapat perbedaan yang mencolok.
Pertama. Tiang pada susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan yang dapat disebut berbahan kristal terlihat polos. Tiang tidak terdiri dari susunan kotak-kotak kecil.
Kedua. Tiang pada susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan yang dapat disebut berbahan emas terlihat tidak polos. Tampak tiang juga terdiri dari susunan kotak-kotak kecil, sekalipun banyak yang terlihat telah rusak.
8. Membandingkan Seni Relief Prambanan dan Borobudur
Kala membandingkan seni relief antara Prambanan dan Borobudur, gambar dengan dinding yang terdiri dari susunan kotak-kotak kecil sebagaimana yang terdapat di relief Prambanan, ternyata terdapat juga pada relief Borobudur. Hanya saja bentuknya dihadirkan seperti belah ketupat bukan kotak seperti gambar dari relief Prambanan. Misalnya saja gambar sebagai berikut.
Gambar 9.
Gambar bangunan di relief candi Borobudur.

Sumber:
033-A-King-beseiges-a-City-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/06-Avadana-Stories/06-Avadana-Stories.htm
Deskripsi gambar:
Bangunan yang memiliki dinding dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, tampak seperti meru yang tersusun dalam 2 tingkat. Pada tingkat kedua, bubungan atap sedikit menyerupai atap khas rumah Minangkabau. Bangunan ini terletak sebelum bangunan utama yang terbuat dari batu kali atau batu bata. Kemungkinan besar bangunan ini bersifat sebagai tempat sementara untuk menunggu menuju bangunan utama.
Gambar 10.
Gambar bangunan serupa candi di relief candi Borobudur.

Sumber:
082-The-Rain-of-Diamonds-Original
https://www.photodharma.net/Indonesia/06-Avadana-Stories/06-Avadana-Stories.htm.
Deskripsi gambar:
Bangunan yang memiliki dinding dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, tampak seperti candi-candi Shiwa di Jawa yang umumnya cenderung lebih ramping. Karena itu, ia memang dimungkinkan menjadi gambaran untuk sebuah candi. Hanya saja kelihatannya candi ini bukan candi besar dan tinggi ditandai dengan ‘meru’ yang hanya bertingkat tiga. Di kedua sisi bangunan terdapat lonceng yang cukup besar kemungkinan besar bagian untuk prosesi upacara keagamaan. Sebuah gambaran yang tidak ditemukan pada peninggalan candi-candi Shiwa pada saat ini.
Gambar 11.
Gambar sebuah bangunan di relief candi Borobudur.

Sumber:
Lalitavistara-Original-00110
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/05-Lalitavistara.htm
Deskripsi gambar:
Bangunan yang memiliki dinding dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, tampak seperti model rumah sebagaimana penggambaran ‘rumah’ di relief Borobudur lainnya, sekalipun dengan bahan dan penggambaran yang lebih mewah dan megah. Ciri khasnya adanya kubah dan teras di depan bangunan utama. Lihat misalnya gambar relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00053.
Gambar 12.
Gambar bangunan rumah relief candi Borobudur.

Sumber:
Lalitavistara-Original-00053
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/05-Lalitavistara.htm
Deskripsi gambar:
Bangunan ini diidentifikasi sebagai rumah masyarakat biasa. Identifikasi sebagai rumah orang biasa dicatat setelah dilakukan perbandingan informasi dengan Sejarah Dinasti Song dan Yingya Shenglan. 28)
Melihat kembali penggambaran dinding yang terdiri dari susunan belah ketupat pada relief Borobudur yang mirip dengan kotak-kotak kecil dalam relief relief Prambanan, menunjukkan penggambaran tersebut bukan seperti penggambaran bangunan biasa. Hal ini karena perelief Borobudur, juga melukiskan bangunan dari batu atau bata tanpa memperlihatkan susunan dindingnya. Misalnya saja gambar bangunan yang sangat artistik sebagai berikut.
Gambar 13.
Gambar ‘Gedung Perjamuan Makan Istana’ dengan desain artistik di relief candi Borobudur. 29)

Sumber:
015-A-Banquet-Original
https://www.photodharma.net/Indonesia/03-Jataka-Level-1-Bottom/03-Jataka-Level-1-Bottom.htm.
Semua itu menunjukkan perelief Borobudur mengembangkan seni relief yang sama dengan perelief Prambanan. Di mana ada yang ingin disampaikan oleh mereka, terkait pelukisan kotak-kotak kecil seperti belah ketupat pada dinding bangunan, yaitu untuk penggambaran bangunan yang tidak biasa seperti penggambaran sphaṭika atau kanaka sebagaimana yang dilakukan perelief Prambanan.
Adanya keseragaman seni relief ini, membuat Gambar 9 kiranya juga dapat diidentifikasi, untuk melukiskan gambaran mengenai rangkang sphaṭika sebagaimana yang digambarkan dalam Sutasoma. Sementara itu pada Gambar 10, yaitu gambar candi dengan dua lonceng besar di sisi kiri dan kanan dengan dinding berupa kotak-kotak kecil seperti belah ketupat, kemungkinan besar dapat diidentifikasi untuk melukiskan gambaran sphaṭīkeyang sebagaimana yang digambarkan dalam Nāgarakŗtāgama, sekalipun tentu dengan seni puncak candi yang bisa berbeda. Dan untuk Gambar 11, yaitu bangunan yang dilukiskan lebih megah dibandingkan gambar 12 dengan dinding berupa kotak-kotak kecil seperti belah ketupat yang dapat ditengarai dengan emas, maka ia dimungkinkan merupakan bangunan istana atau milik kerajaan.
9. Sphaṭika Memiliki Kemiripan Fungsi Dengan Glass Block
Jika melihat kembali gambar maṇḍapa dengan dinding yang bergambar kotak-kotak kecil seperti bujur sangkar yang teridentifikasi sebagai sphaṭika di relief Prambanan, maka gambar itu seperti mengingatkan pada bahan bangunan pada saat ini yang disebut dengan glass block. Menurut Celia Sandjaja (Solopos.com, 17 May 2021 16:28:48 WIB), glass block atau disebut juga dengan blok kaca merupakan material yang terbuat dari kaca tebal, tapi tampilannya tidak tembus pandang sehingga berbeda dengan kaca biasa. Terdiri dari berbagai macam variasi ukuran, warna, bentuk, ataupun tekstur. Glass block dikembangkan dari prinsip pencahayaan prisma yang ada sejak tahun 1900-an dan saat itu dipakai di lingkungan pabrik untuk menambah pencahayaan.
Gambar 14.
Contoh bangunan modern saat ini yang menggunakan glass block.

Sumber:
https://www.archify.com/id/archifynow/kembali-digemari-ini-dia-8-keunggulan-dari-glass-block
Menjadi pertanyaan kemudian, mungkinkah teknologi pengolahan sphaṭika Jawa Kuna pada masa lalu yaitu sekitar tahun 850, mampu menghadirkan sebuah bahan bangunan yang bentuk dan fungsinya setara dengan glass block yang baru ada sekitar tahun 1900-an? Hal ini terjadi karena adanya beberapa kemiripan antara sphaṭika dengan glass block.
Adapun beberapa bentuk kemiripan tersebut adalah sebagai berikut,
- Adanya kemiripan bentuk dari pelukisan kotak-kotak kecil pada relief bangunan D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb Prambanan dengan bentuk glass block yang telah terpasang.
- Keduanya sama-sama tersusun utuh dalam bentuk kotak.
- Kerangka tiang merupakan struktur bangunan tersendiri yang tidak disusun dari kotak-kotak kecil atau glass block.
- Memiliki fungsi sama yaitu, memberi aspek pencahayaan unik. Arjunawiwāha 17.4.4, sphaṭika = cemerlang. Glass block = fungsi menambah pencahayaan.
Untuk menjawabnya, sangat dipastikan tentu memerlukan sebuah penelitian panjang mengenai hal itu. Namun demikian kristal sesungguhnya juga dapat saja dibentuk di pabrik atau dengan metode yang lain oleh kegiatan manusia (secara antropogenik), namun kristal-kristal tersebut bukan merupakan mineral. Sebagai contoh adalah batu/mineral asli tapi palsu, seperti rughby, intan, safir, jasper, batu giok dan lain-lain yang dibuat di pabrik, (Sri Mulyaningsih, 2018: 30).
Dengan ditemukannya lingga kristal (sphaṭikalingga) di candi Sukuh, menunjukkan bila industri Jawa Kuna pada masa lalu tentu juga mampu menghadirkan kristal yang diinginkan. Termasuk kristal ala kotak-kotak kecil seperti bujur sangkar sebagaimana yang dilukiskan di relief rumah di candi Prambanan yang dapat diidentifikasi sebagai sphaṭika. Hal ini karena tradisi Jawa Kuna memiliki kosa kata seperti sphaṭikaratha ‘kereta kristal’ (AW23.5), sphaṭikarārca ‘arca kristal’ (SD 12.1), dan sphaṭikumbha (sphaṭikumbha) ‘periuk kristal’ (RPWj 12.4). Kosa kata tersebut menunjukkan adanya kemampuan teknologi masa lalu untuk menghadirkannya.
Dengan adanya kemiripan kotak-kotak kecil seperti bujur sangkar di dinding bangunan di relief Prambanan dengan bahan bangunan modern saat ini yaitu glass block tersebut, menunjukkan jika penggunaan sphaṭika Jawa Kuna sebagai dinding rumah atau bangunan, bukan tanpa landasan. Fungsi dan penggunaannya pada masa lalu yaitu sekitar tahun 850 sebagaimana tahun pendirian Candi Prambanan, kemungkinan besar sebagaimana penggunaan glass block yang baru hadir sekitar tahun 1900-an. Semua itu menunjukkan adanya suatu lompatan besar ilmu pengetahuan ala Jawa Kuna, yang sayangnya terabaikan dan tidak dikenal lagi oleh pemiliknya hingga saat ini.
Kesimpulan
Penemuan visualisasi ratnamaṇḍapa dan umah mās dalam relief Prambanan, membuktikan adanya kesamaan antara data tertulis dan artefactual. Penemuan ini menjadi bukti bahwa sphaṭikagṛha dan weśmakanaka yang merupakan rumah di era Majapahit, tidak hanya ada di dalam ranah filologis semata.
Selain itu, banyak penemuan baru yang di dapat dari pembuktian kesamaan antara data tertulis dan artefactual yang ada. Penemuan baru tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. Relief Rāmāyana Prambanan dilukiskan berdasar kakawin Rāmāyana secara lebih dekat. Kedua. Bentuk bangunan yang disebut maṇḍapa dan bentuk bangunan yang disebut dengan umah berbeda, sekalipun keduanya mengacu pada desain rumah dua lantai. Ketiga. Istilah gṛha, humah, atau weśma dalam Sutasoma, Arjunawiwāha, Arjunawijaya, dan Rāmāyana sesungguhnya mengacu pada gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb.
Keempat. Istilah sphaṭikagṛha, berarti bentuk struktur menggunakan bahan sphaṭika atau ratna sebagaimana desain gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb namun dengan desain bangunan sebagaimana gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb. Kelima. Kamus Zoetmulder yang menyebut maṇḍapa sebagai bahasa Sansekerta yang berarti pendapa, (Zoetmulder, 1985: 642), perlu mendapat masukan baru. Sebab maṇḍapa adalah kata asli Jawa Kuna dan bentuknya sesuai dengan relief Prambanan, yaitu mengacu pada bangunan rumah 2 lantai dengan tambahan pavilion di sisi bangunan. Keenam. Rumah bangsawan Jawa Kuna termasuk Majapahit yang disebut dengan istilah gṛha, humah, atau weśma, merupakan bangunan yang memiliki dua lantai dengan bahan utama batu atau bata.*
Penulis : Irawan Djoko Nugroho (Filolog Jawa Kuna)
Catatan
1 Lihat, Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, Editor: Prof. Dr. Inajati Andrisijanti, Yogyakarta, 2014, hal: xvi
2 Lihat, https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html.
3 Teks Nāgarakṛtāgama didasarkan pada teks Nāgarakṛtāgama Edisi Pigeaud, namun penulisan hurufnya disesuaikan dengan penulisan di Kamus Jawa Kuna Zoetmulder.
4 Pigeaud menterjemahkan dengan: Not must stay behind the sphaṭikeyangs (Divinity’s crystals): Jaya Manalu, Haribhawana, Candi Wungkal, Pigit; Nyu Denta, Katuda, Srangan, Kapuyuran, Jaya Muka, Kulanandana, Kanigara; Rěmbut and Wuluhěn, also Kinawöng and Sukawijaya and Kajaha too, Campěn and Rati-Mānmathashrama, Kulang-Kaling, Batu Putih, that now is an addition.
5 Pigeaud menterjemahkan kuti balay dengan rumah pendeta dengan pavilion, parhyangan sebagai tempat keramat, prasada haji sebagai menara candi kerajaan, dan sphaṭikeyang sebagai Kristal Ketuhanan.
6 ‘Kelompok keempat, sphatikeyang Shiwaitic, tampaknya terdiri dari semacam domain ‘wilayah’ dengan tempat-tempat suci yang pada zaman Majapahit adalah dianggap biasa, tidak kuna atau milik orang-orang yang dalam hal apa pun di luar batas umum Shiwaisme Jawa Timur abad ke-14. Di samping hubungan kata sphaṭika dengan konsepsi ityphallic Shiwaitic, nama bale spaṭika untuk bagian terpenting (tempat jenazah) dalam bade Bali (menara yang digunakan untuk mengangkut orang mati dari kuburan duniawi sementara ke tempat kremasi) juga perlu disebutkan’, (lihat i.a. Wirz, Totenkult auf Bali, 1928:40).
7 Sphaṭika, kristal, dalam bahasa Jawa Kuna Paṣṭika, muṣṭika, dihubungkan dengan Parameshwara-Shiwa dalam kisah Korawāshrama (edisi Swellengrebel, hal. 44) tentang pencarian Wishnu dan Brahma untuk kaki dan kepala pilar kristal, paku Jawa (pakuning Yawadwīpa)
8 Penjelasan Supomo ini seperti dapat meluruskan pendapat Zoetmulder di mana ia mengatakan:’kita akan merasa kecewa andaikata kita mengharapkan agar dalam syair Tantular ini kita temukan suatu pencerminan mengenai kehidupan di keraton Majapahit’, (Zoetmulder, 1983:435).
9 Even more beautiful and beyond compare was the arrangement of the palace; the interior was most imposing, because of the radiantly sparkling crystal-pavilions; some of them, which were [as bright] as if it was continually daytime, S. Supomo 1971:368.
10 Lihat, Lokasi Istana Majapahit Berlapis Emas, https://www.nusantarareview.com/lokasi-istana-majapahit-berlapis-emas.html
11 Terkait teks Sutasoma, ada dua teks saat ini yang dengan mudah dapat diakses. Yaitu teks Sutasoma karya Soewito Santoso (1968) dan Dwi Woro R. Mastuti dan Hastho Bramantyo (2009). Pada penelitian ini, seluruh teks yang dihadirkan bersumber pada karya Soewito Santoso (1968).
12 Soewito Santoso menterjemahkan sebagai berikut.
The golden hall, to the east was like that of Îçwara, very excellent indeed.
That to the south side was like the abode of Dhâtra, continually flaming and gleaming.
And to the west side was the abode of Mahâmara, so the onlooker would think,
and the hall to the north side was like the abode of Madhusudhana, reserved by him for the heroes in battle.
13 Soewito Santoso menterjemahkan: In the centre was a great building of pure crystal which might not be imitated even in the abode of the gods.
14 Soewito Santoso: In the centre was a great building of pure crystal which might not be imitated even in the abode of the gods.
15 Soewito Santoso: The roof was mad of all kinds of opals and the ridgepoles were studded all over with nine sorts of jewels. Dalam kamu Zoetmulder, hatěp merupakan merupakan bahasa Jawa Kuna yang berarti atap atau penutup, (Zoetmulder: 1995:343) dan wuwung merupakan merupakan bahasa Jawa Kuna yang berarti bubungan (dari atap), (Zoetmulder: 1995:1477). Bubungan merupakan penutup sisi antara pertemuan dua bidang atap pada puncak atap. Bubungan juga sering juga disebut sebagai nok yang umumnya menentukan arah bangunan. Bubungan biasanya memiliki posisi memanjang dan seusai dengan panjang rangka atap yang akan dibangun, (http://www.home.co.id/read/5269/hal-hal-ini-yang-menyebabkan-bubungan-atap-rumah-retak). Bubungan, ialah sisi atap yang teratas dan selalu dalam kedudukan mendatar. Sering kali bubungan atap juga menentukan arah (Konstruksi Atap Pengertian, fungsi dan komponen konstruksi atap, http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND.TEKNIK_SIPIL/196012241991011-NANDAN_SUPRIATNA/KB_D-3/ATAP_1.pdf).
16 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: and in the crystal hall was set a splendid bridal chamber fragrant with the smell of musk. Gleaming were the rays of the fluttering beautiful draperies a round [the hall] like flaming fire.
17 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: This was why he had ordered the hall of crystal to be decorated at once and adorned with all kinds of fine ornaments.
18 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: The princess was in a beautiful glass pavilion overwheImed with grief and distress ‘Sang putri berada di paviliun kaca yang indah diliputi kesedihan dan kesusahan’. Rangkang sphaṭikârjja diartikan sebagai beautiful glass pavilion.
19 Teks Arjunawiwāha yang digunakan mengacu pada teks Arjunawiwāha karya I. Kuntara Wiryamartana (1990).
20 I. Kuntara Wiryamartana menerjemahkan rangkang sphaṭika dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
21 I. Kuntara Wiyamartana menerjemahkan sphaṭikagṛha dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
22 I. Kuntara Wiyamartana menerjemahkan sphaṭikagṛha dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
23 Lihat photodharma.net, The Prambanan Plain.
24 Then the king withdrew to the inner quarters, followed by the guests, Wibhisana and the king of the monkeys. The guests were requested to stay and sleep in the jewelled pavilion with fabulous beds.
25 Thereupon full of delight Rama entered the golden pavilion. Everything was ready and perfect, not to mention the queen, the beautiful Sita. They went to the bedroom with the prepared and perfumed bed, standing lamp, curtains and jewelled hooks.
26 Lihat, Makhan Lal Sen, B.L., The Ramayan. Translated from the Original of Valmiki. A Modernised Version in English Prose. Vol. III (Second Edition). Calcutta: Oriental Publishing.Co, 1957: 286. Sumber: https://archive.org/details/in.gov.ignca.6101/page/n292/mode/1up?view=theater
27 Sumber: http://www.valmikiramayan.net/yuddha/sarga128/yuddha_128_frame.htm
28 Lihat https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html.
29 Foto ini diambil dari salah satu sisi kanan foto yang ada. Photodharma.net memberi keterangan secara keseluruhan akan foto ini, sebagai A Banquet. In the centre of this panel is what appears to be a large dish with rice, fish and other dishes on it. One group of six people are sat on the left, with one other member standing. Another group of four people is on right. On the far right we see ‘Di tengah panel ini adalah apa yang tampak seperti piring besar dengan nasi, ikan, dan hidangan lainnya di atasnya. Satu kelompok yang terdiri dari enam orang duduk di sebelah kiri, dengan satu anggota lainnya berdiri. Kelompok lain yang terdiri dari empat orang ada di sebelah kanan. Di paling kanan kita melihat’.
Pustaka
Dwi Woro R. Mastuti, dkk. Kakawin Sutasoma Mpu Tantular, Komunitas Bambu, 2009.
Nurhadi Rangkuti, dkk. Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, Editor: Prof. Dr. Inajati Andrisijanti, Yogyakarta, 2014.
Irawan Djoko Nugroho Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
__ Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.
__ Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.
Kern, H “De Nagarakrtagama. Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”. VG VII: 249-320; VG VIII: 1-132, 1917.
__ Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage, 1917-1922.
Krom, N.J. Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D). Meet Aantekeningen van N.J. Krom. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.
Kuntara Wiryamartono, I Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990.
Made Suastika, I Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.
Maheshwar Anant Karandikar Bhaktikavyam. Motilal Banarasidas., 1982.
Makhan Lal Sen, B.L., The Ramayan. Translated from the Original of Valmiki. A Modernised Version in English Prose. Vol. III (Second Edition). Calcutta: Oriental Publishing.Co, 1957: 286
Muhammad Yamin Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
P.Lal Ramayana. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 2008.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
___ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History IV. The Hague, 1962.
___ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History V. The Hague, 1963.
Robson, S.O Desawarnana (Nāgarakŗtāgama), KITLV, Leiden, 1995.
S. Supomo Arjunawijaya a kakawin of mpu Tantular, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, Canberra 1971.
Sir Monier Monier-Williams, M.A., K.C.I.E, Sanskrit – English Dictionary. Etymologically and Philologically Arranged with Special Reference to Cognate Indo-European Languages, Delhi: Motilal Banarsidass, 1986.
Soewito Santoso Boddhakawya – Sutasoma a Study in Javanese Wajrayana Text – Translation – Commentary, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, 1968.
___ Indonesian Rāmāyaṇa (Ramayana Kakawin), New Delhi: Mrs. Sharada Rani, Hauzkhas Enclave, 1980.
Sri Mulyaningsih Kristalografi & Mineralogi Edisi 1, Yogyakarta: Akprind Press, 2018.
Teeuw, A & S.O Robson Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation Throught the Law of the Buddha. An Old Javanese Poem by Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A & E.M Uhlenbeck “Over de Interpretatie van de Nagarakrtagama”. BKI 114: 210-234, 1958.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
___ Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sumber Website
https://www.archify.com/id/archifynow/kembali-digemari-ini-dia-8-keunggulan-dari-glass-block
https://himalayaabadi.com/id/sejarah-kaca-pada-arsitektur/
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
https://www.photodharma.net/Indonesia
https://www.solopos.com/mengenal-glass-block-material-penerang-ruangan-dan-penjaga-privasi-1125744
https://www.merdeka.com/gaya/jenis-batu-kristal-paling-populer-kln.html
https://www.facebook.com/Nurkesawa/photos/pcb.348335119120828/348335089120831/?type=3&theater
https://www.cryptoanthropologist.com/2016/05/crystal-shiva-linga-candi-sukuh-central-java.html
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/05/14/crystal-shiva-linga-found-among-artifacts-at-candi-sukuh-central-java/
https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html.
https://www.nusantarareview.com/lokasi-istana-majapahit-berlapis-emas.html