Jakarta, CoreNews.id – Penyematan gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ di depan nama seseorang bukanlah tradisi baru, melainkan memiliki akar sejarah, budaya, dan keagamaan yang panjang. Filolog dan Staf Ahli Menteri Agama, Oman Fathurahman, menjelaskan bahwa gelar ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan umat Islam Nusantara yang menempuh perjalanan panjang dan berat menuju Tanah Suci, menghadapi lautan dan gurun selama berbulan-bulan.
Menurut Oman, tradisi ini sah-sah saja karena ibadah haji tidak hanya merupakan ritual keagamaan, tetapi juga pencapaian spiritual dan fisik yang luar biasa. Gelar ‘Haji’ kemudian menjadi simbol keberhasilan melewati ujian berat tersebut. Namun, Oman mengingatkan agar gelar tersebut tidak menjadi simbol kesombongan.
“Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian,” ucap Oman.
Antropolog UIN Jakarta, Dadi Darmadi, menyatakan bahwa tradisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di wilayah Melayu Islam lainnya seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan. Bahkan di Mesir Utara, rumah jemaah haji sering dihiasi lukisan Ka’bah dan kendaraan yang digunakan untuk berhaji.
Menurut Dadi, penyematan gelar haji dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni Keagamaan: Haji adalah rukun Islam kelima yang sulit dijalankan dan menjadi kebanggaan bagi mereka yang berhasil menunaikannya. Kemudian Kultural: Cerita heroik perjalanan haji turut memperkuat nilai sosial dan simbol status dalam masyarakat. Kolonial: Pada masa Hindia Belanda, ibadah haji diawasi karena dikhawatirkan memicu semangat anti-kolonial. Bahkan, jamaah diwajibkan memakai atribut tertentu agar mudah dipantau.
Namun, tokoh kolonial Snouck Hurgronje berpendapat lain. Ia menilai para jemaah haji saat itu tidak layak dianggap sebagai ancaman politik. “Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” tandas Dadi.