Jakarta, CoreNews.id – Sejumlah ekonom menegaskan demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah bukan hasil campur tangan asing, melainkan akibat tekanan ekonomi dan sosial yang kian berat dirasakan masyarakat.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menilai keresahan publik berakar pada masalah kesejahteraan. “Apakah memang benar karena ada campur tangan asing atau ada kelompok-kelompok yang tidak ingin Indonesia maju? Nah, ternyata di sini bukan itu. Ini masalah perut,” ujarnya dalam diskusi publik, Senin (1/9/2025).
Esther menyebut kenaikan PBB, lemahnya perlindungan tenaga kerja, maraknya PHK, hingga kesenjangan pendapatan antara pekerja dan pejabat menjadi pemicu keresahan.
“Kalau kita lihat, jomplang banget. Upah minimum rata-rata sekitar Rp5 juta, tapi di sisi lain anggota DPR pendapatannya jauh lebih besar, Rp104 juta, berarti 20 kali lipatnya,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak politik yang memicu depresiasi rupiah dan koreksi IHSG, mirip kondisi krisis 1998.
Senada, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menyebut demonstrasi merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat, terutama kelas menengah bawah.
“Aksi demonstrasi yang berbuntut kekacauan dan penjarahan saat ini merupakan akumulasi kekecewaan, kemarahan, dan frustrasi kelompok masyarakat,” katanya.
Data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 24 juta jiwa per Maret 2025, sementara lebih dari 100 juta orang hidup di sekitar garis kemiskinan. Tingkat pekerja informal mendekati 60 persen, dengan PHK sudah mencapai 43.500 orang, naik 150 persen dari tahun lalu.
Gelombang protes dipicu isu gaji dan tunjangan DPR yang fantastis, serta solidaritas atas meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob.
Presiden Prabowo Subianto merespons dengan janji evaluasi tunjangan DPR, membuka ruang komunikasi publik, sekaligus memerintahkan aparat menindak tegas pelanggaran hukum.
“Kita waspada terhadap campur tangan kelompok-kelompok yang tidak ingin Indonesia sejahtera,” kata Prabowo.