Jakarta, CoreNews.id – Generasi muda Indonesia yang tumbuh sebagai AI natives ternyata memiliki ekspektasi unik terhadap kecerdasan buatan. Mereka mendambakan interaksi yang super cepat, namun tidak kehilangan sentuhan manusiawinya. Hal ini terungkap dalam riset terbaru dari Zoom bertajuk “AI Natives and Customer Experience in Asia Pacific”.
Riset yang dilakukan oleh Kantar untuk Zoom ini melibatkan 2.551 responden di delapan negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Studi ini memotret perbedaan pandangan antara AI natives (usia 18-24 tahun) dan non-AI natives terhadap peran AI di tempat kerja dan pengalaman pelanggan.
Kecepatan dan Efisiensi adalah Harga Mati
Temuan utama riset menunjukkan bahwa 78% AI natives di Indonesia menginginkan layanan AI yang lebih cepat dan efisien. Angka ini merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Mereka ingin waktu tunggu dipersingkat dan respons didapatkan secara instan.
Namun, di balik tuntutan kecepatan tersebut, tersimpan keinginan untuk interaksi yang manusiawi. Sebanyak 70% dari mereka tetap ingin dapat mengeskalasi keluhan mereka kepada agen manusia ketika diperlukan. Bahkan, 68% berharap agen manusia tersebut sudah memahami konteks masalah tanpa harus diulang dari awal, menunjukkan harapan akan integrasi data yang mulus antara AI dan manusia.
Koneksi Manusia Tetap Tak Tergantikan
“Temuan kami menunjukkan bahwa organisasi perlu memahami perbedaan cara berpikir antara AI natives dan non-AI natives,” ujar Head of Asia Zoom, Lucas Lu. “Generasi muda di Indonesia, misalnya, menegaskan bahwa koneksi manusia tetap tak tergantikan.”
Loyalitas pelanggan dan karyawan di era AI, menurutnya, akan sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam menyeimbangkan efisiensi teknologi dengan sentuhan manusia yang empatik.
AI di Tempat Kerja: Harapan Tinggi dan Kritik yang Tajam
Di dunia kerja, adopsi AI sudah menjadi hal biasa. Hanya 2% responden di Indonesia yang mengaku belum menggunakan AI di tempat kerjanya. Sebanyak 83% responden percaya bahwa kemampuan menggunakan AI akan menjadi keunggulan kompetitif di dunia kerja.
Baik AI natives maupun non-AI natives sepakat bahwa AI harus membantu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan berperan sebagai asisten yang cerdas. Namun, AI natives cenderung lebih kritis. Sebanyak 68% dari mereka sangat memerhatikan aspek keamanan dan privasi data, menuntut bukti nyata dari manfaat penggunaan AI.
Implikasi bagi Brand: Kejelasan dan Kecepatan adalah Kunci
Dalam hal pengalaman pelanggan, AI natives Indonesia memiliki cara unik mengekspresikan kekecewaan. Meski hanya 52% yang merasa pengalaman buruk memengaruhi loyalitas, 62% dari mereka tidak segan membagikan kekecewaan tersebut secara publik, baik melalui percakapan personal maupun media sosial.
Oleh karena itu, brand harus memahami apa yang benar-benar diinginkan pelanggan. Bagi AI natives Indonesia, kunci utamanya adalah:
- Komunikasi yang jelas dan transparan (68%)
- Layanan yang praktis (57%)
- Respons yang cepat (55%)
Ketidakmampuan brand dalam memberikan solusi dengan cepat menjadi alasan terbesar yang memengaruhi loyalitas (60%), jauh di atas rata-rata Asia Pasifik (44%).
Kesimpulannya, perusahaan tidak bisa sekadar “mengadopsi AI”. Mereka harus merancang pengalaman AI yang cepat, transparan, dan efisien, sambil tetap mempertahankan jalur manusiawi untuk membangun kepercayaan dan empati. Masa depan hubungan brand dengan generasi muda terletak pada kemampuan menciptakan teknologi yang cerdas sekaligus berempati.











