Jakarta, CoreNews.id – Wacana Indonesia yang masuk anggota koalisi ekonomi BRICS yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan dapat menjadi alternatif pembiayaan secara terjangkau. Selain itu, ia juga dapat menjadi salah satu opsi untuk melanjutkan pembiayaan infrastruktur bahkan transisi energi. Hal tersebut diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira (9/8/2023).
Bhima juga menyebut bergabungnya Indonesia ke BRICS maka potensi kerja sama ekspor ke negara seperti India, China, dan Brasil bisa lebih ekspansif. Namun demikian, Pemerintah Indonesia tetap perlu mencermati jika ingin bergabung dengan BRICS. Indonesia kalau gabung ke BRICS akan dianggap pro China-Rusia dan memiliki konsekuensi terhadap renggangnya hubungan ekonomi investasi dengan negara barat. Karena itu Bhima berharap agar politik bebas aktif seharusnya tetap dijaga.
BRICS sendiri dibentuk pada tahun 2009 atas inisiatif Rusia. Tujuannya untuk mengembangkan kerja sama komprehensif antara negara-negara terkait. BRICS kerap dipandang sebagai kutub perlawanan terhadap kelompok ekonomi G7 yang beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Italia, dan Jepang. Menurut data IMF, pada 2022 lalu, total gabungan pendapatan domestik bruto BRICS telah mencapai 22,5 triliun dolar AS. Jumlah itu melampaui PDB G7 yang mencapai 21,4 triliun dolar AS.*