Jakarta, CoreNews.id — Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen yang dilaksanakan pada April 2022 dan kini direncanakan akan menjadi 12 persen per Januari 2025, menjadi kebijakan ‘jalan pintas’ pemerintah demi mengejar target kenaikan penerimaan perpajakan. Hanya saja sayangnya langkah menaikkan tarif PPN tersebut, ditengah lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas bawah dan menengah, serta di tengah belum optimalnya upaya meningkatkan basis perpajakan terutama basis PPh dari kelas terkaya, yang selama ini under-tax.
Hal ini disampaikan Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Next Policy Yusuf Wibisono di Jakarta, (16/9/2024). Menurut Yusuf Wibisono, kinerja penerimaan perpajakan mengalami penurunan dalam 10 tahun belakangan. Di akhir periode Presiden SBY pada 2014 tax ratio dicatat berada di kisaran 10,85 persen dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo pada 2019 tax ratio turun tajam menjadi hanya 9,77 persen dari PDB. Di waktu yang sama, penerimaan PPN turun dari 3,87 persen dari PDB pada 2014 menjadi 3,36 persen dari PDB pada 2019.
Adanya kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022 awalnya merupakan tendensi utama bahwa peran penerimaan PPN dalam penerimaan perpajakan semakin menguat. Namun demikian jika itu berlanjut, ternyata akan berpotensi memperburuk kesenjangan pendapatan karena PPN lebih bersifat regresif dibandingkan PPh. PPN diketahui lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal, terlepas berapapun tingkat pendapatan masyarakat.
“Tanpa ada perubahan kinerja penerimaan PPh, rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi besar akan memiliki dampak redistributif yang lebih kuat, dengan hasil akhir kesenjangan akan meningkat”, pungkas Yusuf Wibisono.*