Pada 17 Agustus 2025, bangsa Indonesia merayakan HUT RI yang ke 80, setelah sebelumnya di tanggal 1 Muharram, kaum muslimin merayakan tahun baru Hijriyyah, 1447.
Jakarta, CoreNews.id – Terdapat kesamaan mendasar antara kedua peristiwa bersejarah ini, Hijrah dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Pertama, sama-sama mengalami penindasan, dan berjuang untuk bebas merdeka. Kedua, sama-sama mengakui bahwa kemerdekaan yang diperoleh dari perjuangan itu, sebagai rahmat dari Allah Ta’ala. QS Al-Baqarah/2: 218 menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan oran-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan Rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Terinspirasi oleh peristiwa hijrah, maka The Founding Fathers kita merumuskan dalam Mukaddimah (Preambule) UUD 1945, alinea ke 3 : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” Rahmat Allah yang diperoleh sebagai reward dari perjuangan itu, menjadi nikmat dipangkuan orang-orang beriman. Dan nikmat itu wajib disyukuri.
Pertanyaannya, bagaimanakah cara mensyukuri nikmat kemerdekaan itu? Sebagai ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kita selayaknya meneladani agenda beliau setibanya di kota Yatsrib, begitu terbebas dari penindasan kaum kafir Quraisy.
Hal pertama yang beliau lakukan terlebih dulu adalah membangun masjid. Di masjid beliau mengimami shalat berjama’ah, dan di masjid pula beliau merumuskan strategi ekonomi, hukum, sosial, pendidikan dll-nya. Bahkan strategi perang pun dirumuskan di masjid. Masjid, di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam benar-benar fungsional sebagai pusat ibadah dan pusat peradaban. Masjid di satu sisi memanglah bangunan tempat melaksanakan ibadah, namun pada sebelah lainnya, masjid merupakan simbol dari peng-Esaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang kita kenal dengan istilah Tauhid. Mengapa harus Tauhid yang diutamakan? Mengapa bukan nilai-nilai yang lain? Hal ini disebabkan karena dengan menegakkan Tauhid, disamping bertambahnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , juga dengan sendirinya akan memunculkan nilai-nilai luhur lainnya dalam hubungan sesama manusia, berbangsa dan bernegara.
Itu sebabnya, agenda kedua Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ialah rabithah al-muakhkhah. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Persaudaraan atau persatuan yang dirajut oleh Nabi dengan ikatan Iman Tauhid menghujam kuat ke dalam sanubari masing-masing warganya, melebihi dari hubungan orang yang sedarah sekalipun. Seandainya ayat kewarisan tidak turun, boleh jadi mereka akan saling waris mewarisi sesamanya.
Nilai-nilai luhur lainnya akan mudah ditampilkan ketika semua nilai diorientasikan kepada Tauhid. Alhamdulillah di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bagi kita kaum muslimin, Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaknai sebagai Tauhid. Tidak ada tafsiran lain selain dari itu. Demikianlah, bilamana Iman Tauhid dan persaudaraan ala Islami (ukhuwah Islamiyah) dijadikan sebagai cara mensyukuri nikmat kemerdekaan, maka niscaya akan mendatangkan barakah. Barakah dalam pengertian bahwa rahmat Allah selalu membawa nikmah, dan bukan sebaliknya membawa niqmah (bencana).
Pembangunan fisik masjid dimasa Nabi, sebagai proyek sarana publik, dalam rangka pengisian kemerdekaan dengan kerja pembangunan, sangat dirasakan nikmatnya oleh kaum muslimin. Dikerjakan secara gotong royong. Semuanya turun tangan sesuai kemampuan masing-masing. Tidak ada yang menyimpangkan bahan materialnya untuk membangun rumah pribadi.
Berbeda dengan masyarakat dimana rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membawa barakah, yaitu ketika mereka berhasil membangun berbagai proyek, tetapi bersamaan dengan itu, semangat korupsinya selalu beriringan dengan semangat pembangunannya. Sehingga timbul ungkapan, “dimana ada proyek, disana ada korupsi.”
Begitu juga, berhimpunnya beberapa komunitas di sebuah masyarakat, jika beroleh barakah, maka ia akan mewujud menjadi sebuah persaudaraan yang Islami, sebagai terbukti secara empirik pada Muhajirin dan Anshar. Akan tetapi jika barakahnya sirna, maka berkumpulnya orang dalam sebuah komunitas, hanya akan menjadi ajang perpecahan saja, dan jauh dari persatuan dan persaudaraan yang hakiki.
Kita berharap, semoga rahmat Allah berupa kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendahulu-pendahulu kita membawa barakah, sehingga dengan demikian, ia akan selalu dinikmati oleh kita dan generasi-generasi selanjutnya.
Mari kita dawamkan salam sunnah satu-satunya, yang sekaligus berfungsi sebagai do’a, yakni: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Inilah salam merdeka kita, yg pada tgl 17 Agustus 2025 ini, kita beri makna : Selamat merayakan HUT RI yang ke 80, semoga rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa kemerdekaan ini, dibarakahi oleh-Nya.
Amin Allahumma Amin.
Jakarta, 23 Shafar 1447/17 Agustus 2025
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi CoreNews.id.