Oleh: Hanafi Tasra
IBADAH HAJI adalah ibadah mahdhah yang memiliki keunikan dan keistimewaan. Diantaranya, ia menjadikan TAQWA sebagai perbekalannya. (QS.Al-Baqarah/2: 197). Beda dengan ibadah shaum, dimana modal awalnya adalah Iman, sedangkan Taqwa berposisi menjadi hasil atau output dari Iman dan amaliah shaum ramadhannya (QS Al-Baqarah/183).
Begitu juga mengenai kadar ketaqarruban kepada Allah, ibadah haji memiliki kadar yang paling dekat, karena ia dilaksanakan langsung di orbit Rumah Allah atau Baitullah di Makkatul Mukarramah (QS Ali Imran/3: 97). Untuk bisa sampai ke sana, orang rela meninggalkan aktifitas duniawiyah mereka, meninggalkan tanah air, bahkan keluarga yang sangat dicintainya. Gambaran yang sempurna mengenai keseimbangan dimensi duniawi dan ukhrawi juga menjadi salah satu keistimewaan ibadah haji, dimana ritual Thawwaf mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali, didahulukan dari ritual Sa’i dalam bentuk lari-lari kecil diantara bukit Shafa dan bukit Marwa. Ritual Thawwaf dan Sa’i adalah simbol dari formula keseimbangan hakiki dari dimensi Ukhrawi dan dimensi duniawi, dimana capain poin ukhrawi kudu lebih diutamakan, tanpa melupakan perolehan yang bersifat duniawi (QS. Al-Qashash/28: 77).
Puncak dari ibadah haji ialah wuquf di Arafah.
Arafah secara harafiah atau etimologi, bermakna mengenal. Hal ini terkait secara historis dengan kisah nenek moyang kita, Adam dan Hawa, dimana mereka berdua di Padang Arafah, mengenal kesalahan yang diperbuatnya semasa berada di Al-Jannah, lalu mereka Taubat. Dan Allah menerima Taubat mereka (QS. Al-Baqarah/2: 36-37).
Jadi, Arafah adalah tempat yag sudah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk hamba-Nya mengenal siapa dirinya, siapa Penciptanya, siapa kawan2nya, dan siapa pula lawan atau musuh2nya. Sementara ritual wuquf menjadi momentum untuk merealisasikan itu semua.
Ia merealisasikan identitas diri yang semula semu menjadi pribadi ‘Abid yang sejati (QS Al-Baqarah/2: 138). Merealisasikan kepatuhan ‘abid kepada Ma’bud, Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tadinya parsial menjadi total kaffah (QS Az-Zariyat/51: 56)
Merealisasikan rasa persaudaraan sesama muslim yang terkesan sebatas semboyan penghias bibir, menjadi persaudaraan hakiki yang memancar dari hati sanubari paling dalam (QS.Al-Hujurat/49: 10). Dan merealisasikan sikap permusuhan terhadap syaitan yang selama ini terkesan masih abu-abu, kurang tegas, menjadi lebih tegas dan tanpa kompromi (QS Al-Fathir/35:6).
Begitulah amat pentingnya wuquf di Arafah, sehingga ia menjadi salah satu rukun haji, yang dengannya pelaksanaan haji menjadi sah, tetapi tanpa ia maka pelaksanaan ibadah haji menjadi tidak sah. Ini sekaligus mengkonfirmasi betapa pentingnya substansi amalan Arafah untuk kemudian ditransfer ke kehidupan pribadi dan sosial. Dan disini pula letak kemabruran sebuah ibadah haji yang sangat didambakan perolehannya oleh setiap hamba.
Maka bicara mengenai kemabruran, apakah mabrur pribadi ataukah mabrur sosial, adalah sesuatu yang wajar untuk dipertanyakan peruntukannya ketika komitmen wuquf Arafahnya diabaikan. Ambillah sebagai contoh, masalah Palestina yang sampai saat ini warganya masih saja menderita di genosida oleh Zionis Laknatullah. Semua kaum muslimin pasti mengenal bahwa kaum Muslimin Palestina itu, saudara se Iman kita. Dan semua juga mengenal bahwa Zionis itu musuh bersama kita. Tetapi apakah pengenalan itu berlanjut ke realisasi di lapangan ? Jawabannya belum. Buktinya, Zionis masih saja melancarkan serangannya tanpa ada kekuatan yang bisa menghentikannya. Padahal Nabi kita bersabda: “Barangsiapa menyaksikan kemungkaran, maka hendaklah ia menghentikan dengan tangannya (kekuasaan,kekuatan)… dst” (HR.Muslim).
Pak Prabowo dalam pidatonya di depan peserta konferensi Uni Parlemen Negara Anggota OKI di Jakarta baru-baru ini menyatakan bahwa, sudah tiba waktunya saat ini tidak perlu banyak diskusi maupun resolusi. Yang diperlukan adalah tindakan nyata, katanya.
Pernyataan Pak Prabowo ada benarnya, jika yang beliau maksud dengan tindakan nyata itu adalah pernyataan perang dari negara2 OKI kepada zionis laknatullah. Bukan sekedar membawa yang terluka, untuk dirawat di Indonesia.
Yang dibutuhkan sekarang adalah memotong tangan yang melukai, sembari merawat yang terluka di negeri mereka. Itu artinya memerangi zionis laknatullah dengan kekuatan senjata yang dimiliki negara-negara OKI. Allah, tidak kurang telah memberi sinyal kepada kaum muslimin untuk perang, angkat senjata, dikala disatu wilayah terjadi penzhaliman dari orang kafir terhadap kaum muslimin : “… mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, permpuan dan anak-anak yang berdo’a : Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dan penolong dari sisi-Mu”. (QS An-Nisa’/4: 75). Bahkan bukan lagi sinyal, akan tetapi sudah memberi izin : “Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizhalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa menolong mereka (QS Al-Hajj/22: 39).
Respon dari kaum muslimin seharusnya ialah :
“Orang2 yang beriman, mereka akan angkat senjata, berperang di jalan Allah. Sedangkan orang2 kafir akan berperang di jalan syaitan…dst” Oleh karena itu, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi kawanan- kawanan syaitan itu, karena: “Sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah” (QS.An-Nisa’/4: 76).
Jika jalan perang ini yang ditempuh oleh negara2 OKI, sebagai wujud dari tindakan nyata, maka berarti mereka telah merealisasikan massage wuquf Arafah yakni ukhuwah Islamiyah atau persatuan Islam, yang dengannya kaum muslimin diseantero dunia, khususnya Palestina dibela, dan kaum zionis laknatullah dan kawanan syaitannya ditaklukkan dengan kekuatan senjata yang dimiliki.
Dukungan moral maupun material dari seluruh kaum muslim yang oleh Pak Prabowo dikatakan sebagai yang posisinya menempati 1/4 populasi dunia, sangatlah diperlukan. Inilah barangkali hikmah/rahasia/filosofi dari disunnahkannya melaksanakan shaum Arafah di tanggal 9 Zulhijjah bagi yang tidak berhajji, agar semuanya tanpa kecuali, memahami komitmen wuquf Arafah dan berusaha merealisasikannya dalam tindakan nyata keseharian.
Semoga.
Jakarta, 8 Zulhijjah 1446
4 Juni 2025